Harry Potter and the Deathly Hallows Part I

Friday, December 24, 2010

Waktu edar : 18 November 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di bioskop sama Kinola

Hal paling berkesan : It's Harry freaking Potter. How can a Harry Potter movie be LESS than memorable?

Harry Potter. Saya masih ingat kapan saya memegang buku Harry Potter pertama kali. Kelas 4 SD pertama kali saya baca buku Harry Potter, and it was magical. Saya terhipnotis oleh Harry Potter.

Jaman sekarang menyebutkan Harry Potter sebagai buku kesukaan dianggap klise. Buku segala umat. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang istimewa. Makanya saya suka kesal kalau disamakan dengan penggemar Harry Potter biasa. Karna untuk saya, saya bukan penggemar Harry Potter biasa.

Saya tau nama lengkap ketiga anak Harry Potter. Tahu nama lengkap dua anak Ron Weasley. Tahu nama suami Luna Lovegood, dan anak-anaknya. Saya tahu Harry dan teman-temannya bekerja apa di masa depan. Saya bahkan tahu bahwa Neville Longbottom menikahi Hannah Abbott, yang membeli Leaky Cauldron, dan dia sendiri bekerja sebagai guru Herbology. Dan saya tahu Cho Chang menikah dengan Muggle. Saya hafal nama semua murid Hogwarts yang satu angkatan dengan Harry Potter. Saya tahu lantai satu sampai lantai tujuh Hogwarts isinya apa aja. Saya tahu departemen apa saja yang ada di Ministry of Magic. Saya tahu semua toko di Diagon Alley dan Hogsmeade namanya apa aja, menjual apa saja. Saya membaca semua ini dari interview J.K. Rowling, dan mencari di semua penjuru internet. Singkat kata, I’m a Harry Potter addict.

Sejelek-jeleknya film Harry Potter, saya tetap merasa bagus.Untuk saya, Harry Potter can do no wrong. Harry Potter adalah salah satu buku favorit saya sepanjang masa. Dan ketika saya bicara seperti ini, saya tidak sekedar berkata aja. Saya hampir yakin bahwa sedikit sekali orang di Indonesia yang lebih ngefans Harry Potter dibanding saya.

Tapi saya bukan hanya penggemar Harry Potter. Saya juga penggemar film. Dan sebagai penggemar film sekaligus penggemar Harry Potter, menilai sebuah film Harry Potter lebih susah untuk saya. Film keenam Harry Potter kurang gregetnya untuk saya, tapi itu fakta yang saya sadari setelah berhari-hari. Hal ini karena saya susah untuk menerima bahwa Harry Potter bisa melakukan sesuatu yang salah. Belajar dari pengalaman yang terdahulu, saya berangkat menonton Harry Potter dengan tekad tidak akan sesubyektif itu lagi dalam menilai.

Dari film dimulai, sudah terlihat bahwa tone film ini akan dark seperti film sebelumnya. Ini bisa dimengerti, karena sekarang Harry Potter sudah tidak dalam naungan Hogwarts lagi. Dia dan kedua temannya, Ron dan Hermione, memutuskan untuk tidak kembali ke Hogwarts demi mencari kepingan jiwa-jiwa Voldemort. Hanya hal itu yang dapat membunuh Voldemort once and for all.

Film ketujuh ini memerlukan pengetahuan lumayan tentang film Harry Potter terdahulu. Para tokoh banyak mereferensikan tokoh terdahulu atau kejadian-kejadian yang telah terjadi yang tidak akan diketahui jika belum menonton film-film sebelumnya. Ini bisa dimengerti karena ini film ketujuh dari sebuah serial, jadi jika belum pernah menonton Harry Potter sebelumnya (and why not? Harry Potter sangat menghibur :D ) akan sedikit susah untuk mengikuti.

Tapi jika kalian tidak punya pengetahuan lumayan tentang Harry Potter, film ini masih bisa dinikmati, karena film ini bergantung pada atmosfer. Atmosfer film ini terbangun dengan baik, dan teman-teman saya juga terbawa akan adegan tegangnya (pencarian Horcrux membawa mereka ke Ministry of Magic misalnya, dan adegan disana diberikan dengan tone komedi yang berbeda dengan novelnya, but I love both), adegan sedihnya, dan pada dasarnya semua adegan membawa atmosfer atau mood tertentu.

Dari segi visual, I love it. Harry dan ketiga temannya dalam perjalanan dari kejaran anak buah Voldemort, Death Eater. Pengejaran itu membawa mereka ke banyak tempat. Ke hutan, ke pinggir pantai, ke kumpulan trailer-trailer rusak yang telah terbengkalai, ke padang rumput hijau. Lokasi-lokasinya beragam dan pengambilan gambarnya baik. Semua lokasi terkesan suram, tapi itu yang membuatnya sangat pas. Semua pengambilan gambar sangat wide dan sepi yang memberi kesan bahwa kali ini, Harry harus berjuang sendiri. Dunia sihir sudah tidak aman untuknya, dan dia harus berjuang sendiri.

Selain itu, ada scene pembacaan dongeng The Tales of Three Brothers oleh Hermione, yang digambarkan dalam bentuk kartun. Saya suka sekali. Pembacaan dongengnya terasa creepy beautiful, pas sekali dengan tone film ini. Walaupun saya sudah membaca buku ketujuh berkali-kali, dan saya juga sudah membaca buku The Tales of Beedle the Bard, pembacaan dongeng ini dengan kartun creepy dan suara Hermione yang pas membuat saya tekun mengikuti pembacaan tersebut.

Satu hal yang saya amati, Harry Potter isn’t for kids anymore this time. Harry, Hermione, dan Ron sudah menginjak umur 17 dan sekarang ada sedikit adegan seksual didalamnya. Dan ada perselisihan tentang kecemburuan, tentang cinta. Disini saya sangat merasa bahwa Warner Bros sangat beruntung mereka memilih cast yang pas. Harry, Hermione dan Ron (terutama Hermione dan Ron) is perfectly cast for these roles, like they were meant to be. Hermione, seorang gadis pintar yang know-it-all, dan Ron, yang tidak pede dan banyak melakukan hal konyol, sangat pas. Walaupun film ini lebih menfokuskan pada trio tersebut (lebih dari sebelumnya) tapi akting para pemain yang lain juga tidak kalah baik. Fans akan menghargai didatangkannya tokoh sebelumnya lagi, seperti Madame Maxime, Fleur Delacour, dan bahkan tokoh kecil (untuk veteran Harry Potter seperti saya) seperti Cormac McLaggen.

Film ini adalah part satu dari dua part, tapi pemenggalannya cukup baik. Teman-teman saya setelah menonton langsung menunggu-nunggu datangnya part 2 (saya tahu apa saja yang akan ditampilkan di part 2 jadi saya tidak dihitung). Untuk saya film ini sangat baik, tapi bukan film Harry Potter terbaik. Untuk saya yang terbaik tetap film pertama, karena film pertama penggambaran dunia sihirnya sangat magical dan terasa menarik kita kedalamnya. Film ini sayangnya, adalah film terakhir dari tujuh film. Susah untuk orang yang menonton cabutan atau yang belum menonton sama sekali untuk mengerti apa saja cerita yang ada didalamnya. Ini adalah film untuk orang-orang yang mengerti, paling tidak punya sedikit pengetahuan tentang Harry Potter, agar bisa menghargai filmnya dengan lebih baik. Untungnya banyak adegan penuh aksi didalamnya, jadi mungkin orang yang tidak punya pengetahuan tentang Harry Potter pun akan bisa menikmati filmnya sebagai film fantasi.

Akhir kata, film ini memuaskan saya. Sebagai penikmat film, saya suka dengan pengambilan gambarnya, dengan moodnya, dengan aktingnya. Sebagai penggemar Harry Potter, saya suka dengan sedikit sekalinya adegan yang dipotong dan didatangkannya tokoh kecil yang hanya bisa dihargai oleh penggemar. Dan sebagai reviewer, saya akan berkata : Two Thumbs Up!

0 comments:

Post a Comment