The Duff: Designated Ugly Fat Friend

Friday, December 24, 2010

The Duff: Designated Ugly Fat Friend

A novel by Kody Keplinger

Waktu edar : 7 September 2010

Waktu menonton : November 2010

Media membaca :
ebook di Stanza for iPhone

Hal paling berkesan :
The adorable bad boy, Wesley Rush :)

The DUFF. Designated Ugly Fat Friend.

Do you ever feel like you’re the ugly one among your friends? It’s not that you’re ugly or fat, it’s just that your UGLIER and FATTER than all your BFFs. A lot of people have days like that. Days when you feel like crap and just felt ugly. I’m sure most girls have days like that. Your thigh are as big as a cow, you have a zit in your face, or you look just plain ugly. I’m sure that no matter how beautiful you are, at least once in your life, you’ve had days like that. Days when you feel like crap.

Bianca had days like that too. Her friends are all skinnier and prettier than her. She’s not unactractive, but let’s just say she’s not gonna attract attention when she’s with her friends.

One night when she’s out with her oh-so-gorgeous friends, the notorious womanizer Wesley Rush came to her and explain that to him, she’s a DUFF. Designated Ugly Fat Friend. The one that every group of friends had. The one who’s uglier and fatter than any of them. And she replied with pouring her coke on his face.

And that’s what’s good about this book.

Okay, let’s rewind.

This is a YA book, or Young Adult book. It’s one of my guilty pleasure to read YA book, but I mostly read fantasy or supernatural. Only a couple books and a couple of authors that I read and enjoyed in the contemporary genre. And this book, I enjoyed. Very much so.

This book, at first glance, is just a typical book. The bad boy who’s so irresistibly handsome. The girl who made him change. It all sounds like a premise of your typical romance book. Oh, but it’s so much more.

For starter, Bianca is not your typical heroine. She’s smart, cynical, snarky, and she doesn’t let anyone treat her like crap. She stands up for herself. And maybe more conventional reader will argue with the choices she made, but I understand perfectly. Sometimes life just gets unbearably hard, and you just got to run away for a while.

And next, the friends. The oh-so-gorgeous friends. They’re not bitchy, they’re not shallow. They’re nice. They love Bianca. And they’re genuinely good friends. Really good friends. When I read it, it reminds me of my friends. My true friends, the one that knew my deepest darkest secret and still love me for it anyway.

And here comes the love interest. Wesley Rush. WOW. He’s everything you wanted in a bad boy. Reading this, I realize once again why a lot of girls fall for bad boy. They’re just so.. irresistible. It’s like a car crash. A car crash is messy and dangerous, but when you encounter car crash on the road, you just can’t resist to look. And this bad boy turned good.. WOW. I think I may be falling in love a bit with a character from a book. It reminds me of bad boys in my past. Bad boys is dangerous… but they’re exciting as hell.

Probably the most controversial one, is the level of sex and profanity in here. It’s a YA book, but it’s for older YA. There’s a lot of sex scene in here. And I’m saying A LOT. People who took offense in that kind of thing would surely be put off by this book. A lot of reviews I read said that the depiction of teenage sex in this book is really realistic. Maybe it is in America, but it sure as hell not in Indonesia. And the constant swearing. Fuck. Damn. Shit. Personally, I didn’t took offense about this in the book, mostly because I think that it is appropriately placed. But it’s just me.

This book really spoke to me in a lot of way. When I think about it, we are all DUFFs. This book never really said literally that Bianca is fat and ugly. This book only said that she FEELS fat and ugly. And God knows how many times I feel fat and ugly beside my friends. My friends that, doesn’t matter how gorgeous and prettier and skinnier they are, is my best friends. The one who stood by me no matter what I told them, or what I’ve done. They’re just there for me, no questions asked.

And a lot of us knew what it’s like to fall in love with a bad boy. A boy who treats you all wrong, but there’s something. Something that draws us near. We hoped that we’re the girl who’s gonna change this bad boy, but what we got is a broken heart. Okay maybe it’s getting too personal for me, but what I’m saying is, in a way, a lot of girls feel that they’re DUFFs.

And actually, how can you not melt when a cute bad boy says

Wesley Rush doesn’t chase girls, but I’m chasing you.

Easy A


Waktu edar : 17 September 2010

Waktu menonton : December 2010

Media menonton dan teman menonton : dirumah sendiri

Hal paling berkesan : Emma Stone!

Dimana seorang Emma Stone mendapatkan nominasi Golden Globe untuk sebuah film remaja

Dari berpuluh-puluh film remaja yang keluar setiap tahunnya, bisa dihitung dengan satu jari mana film remaja yang layak tonton atau tidak. Mungkin karena orang-orang di Hollywood sana mengira remaja dapat dibodoh-bodohi dengan membuat film remaja yang so so dengan pemain ganteng, tetapi tetap laku. But here’s the deal : it works. Most of the time. Saya adalah penikmat film yang serius dan yang tidak serius. Saya menonton film-film pemenang Oscar. Saya nonton film berat. Tapi saya juga menonton A Cinderella’s Story, The Princess Diaries, Mean Girls. Dan untuk saya film-film tersebut menghibur. Dan saya juga korban penonton film yang sudah tahu so so, tapi karena kegantengan pemainnya, saya tetap tonton.

Karena stereotype itulah penikmat film yang mengaku kaliber tinggi jarang mau menonton film remaja. Dan karena itulah mereka akan melewatkan sebuah film remaja yang cerdas, cute, dan cocok ditonton oleh semuanya, bukan hanya penggemar film. Juno, sebuah film yang cerdas juga, mungkin terlalu cerdas untuk film remaja. Kenapa? Karena pengamatan saya terhadap teman-teman saya yang memang buta film dan menonton film hanya untuk rekreasi. Mereka tidak suka Juno karena untuk mereka tidak menghibur. Too much dialogue.

Easy A menceritakan tentang Olivia Penderghast (yang dimainkan dengan sangat apik oleh Emma Stone) yang merasa invisible di SMAnya, seperti banyak anak SMA lainnya. Karena malu menceritakan weekendnya yang dihabiskan dirumah saja, dia mengarang cerita tentang kencannya dengan seorang cowo kuliahan dimana she lost her virginity. Gosip itu menyebar dengan cepat ke seluruh sekolah, dan Olivia berubah dari invisible girl menjadi whore girl dalam hitungan satu hari.

Masalah Olivia bertambah ketika dia membantu sahabatnya yang gay untuk berpura-pura having sex supaya sahabatnya tidak di bully di sekolahnya. Setelah itu, 80 persen populasi sekolah yang tidak tahu yang sebenarnya mencap dia sebagai pelacur, dan 20 persen sisanya , yaitu para nerd dan outcast, meminta bantuan dia untuk berpura-pura having sex dengan mereka.

Ini sebuah film komedi remaja tentang virginity. Tema ini sama seringnya dilakukan seperti film romantis antara si kaya dan si miskin. Tapi entah kenapa, film ini adalah film komedi yang sangat menarik dan cerdas.

Pertama, orang tua Olivia. Cara mereka mengatasi masalah Olivia sangat real, dan sangat cerdas. Ini adalah gambaran orang tua remaja yang seharusnya, bukan orang tua di film-film lain. Orang tua Olivia, bersama dengan orang tua Juno, harus masuk ke daftar orang tua terpuji dalam film.

Kedua, Emma Stone sebagai Olivia. Mungkin yang belum menonton film ini akan heran melihat Emma mendapatkan nominasi Golden Globe. Saya tidak. Emma disini sangat endearing, sweet, dan real. Dia bukan remaja yang dibodoh-bodohi. Menurut saya, Emma Stone dan tokoh Olivia ini lah 80 persen alasan mengapa Easy A bagus.

This is Emma Stone’s movie. I love this movie because of Emma Stone, because of Olivia Penderghast. Sebuah film remaja biasa yang mendapatkan nominasi Golden Globe. 30 persen alasannya adalah karakter Olivia yang terbangun kuat, tapi 70 persen alasannya adalah karena Emma Stone.

Emma, you have a great future ahead of you. Looking forward for your next movie :)

Sliding Doors

Waktu edar : 24 April 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di komputer, film yang didownload

Hal paling berkesan : Semua. Suka ide ceritanya

(Hampir) semua cewek punya mimpi. Mimpi kalau di luar sana ada satu true love yang menunggu kita. Orang yang ditakdirkan, bagaimanapun caranya, untuk bertemu dengan kita. Soulmate. Film ini menggunakan mimpi itu, dan membumbuinya dengan skenario “What if“. Apa yang terjadi kalau kita tidak putus dengan mantan kita misalnya, atau apa yang terjadi kalau kita memilih orang yang “itu” dibanding pacar kita sekarang. Apa jangan-jangan mereka soulmate kita? Semua orang pasti pernah memikirkan hal seperti itu.

Helen (Gwyneth Paltrow) adalah seorang wanita karir yang datang ke tempat kerjanya suatu hari dan mendapati dirinya dipecat. Sementara itu, pacarnya Jerry (John Lynch) dirumah sedang menghangatkan tempat tidurnya dengan orang lain, mantannya Lydia (Jeanne Tripplehorn). Helen pulang dengan nyaris tertinggal subway, bertemu cowok charming di subway bernama James (John Hannah) dan pulang tepat waktu untuk mendapati pacarnya sedang “bermain” bersama Lydia. Kejadian-kejadian yang menyusul membawa perubahan besar untuk kehidupan Helen yang lebih baik. Mungkin.

Waktu kemudian dibalik (dan scenenya literally diputar balik) untuk memperlihatkan skenario paralel, dimana Helen telat beberapa detik karena seorang anak kecil menghalangi jalannya dan dia telat naik ke subway. Helen pulang naik taksi dan dia sampai rumah pada saat Lydia sudah pulang dan Jerry sudah menunggu dengan setia. Helen yang ini tidak tahu apa-apa tentang penghianatan pacarnya, dan tetap menjalani hidupnya bersama Jerry tanpa tahu apa yang Jerry lakukan dibelakangnya.

Film ini switch bolak balik scene di kedua dunia paralel ini. Untungnya kita tidak perlu bingung Helen yang mana yang kita lihat, karena satu Helen mengganti potongan rambutnya di pertengahan film. Ide cerita seperti ini sebenarnya mirip dengan Run Lola Run dan The Butterfly Effect, meskipun film ini keluar lebih dulu, tahun 1998. Dibandingkan dengan kedua film itu, mungkin film ini lebih “ringan” karena pada dasarnya ini adalah film romantis after all.

Pertama alasan saya ingin menonton film ini adalah ide ceritanya. Saya sudah menonton The Butterfly Effect dan apapun yang kritikus film lain bilang, saya suka film itu karena ide ceritanya. The Butterfly Effect lebih dark dan berat, dan Run Lola Run lebih action, tapi film ini adalah versi romantisnya.

Untuk saya, eksekusi ide cerita ini dalam film romantis ternyata pas sekali. Film ini memberikan harapan untuk para hopeless romantic diluar sana (termasuk saya) bahwa kalimat “Kalau jodoh ga kemana” itu memang benar. Gwyneth Paltrow disini bermain dengan sangat lovable, begitu juga dengan John Hannah sebagai James. Untuk saya chemistry dua orang pemain film romantis itu ada dua jenis. Yang satu passionate, hot, dan bikin greget. Contohnya adalah Richard Gere dan lawan mainnya dalam An Officer and a Gentleman. Hot banget tapi dapet banget. Yang kedua adalah comfortable, warm, dan membuat kita senyum. Contohnya Tom Hanks dan Meg Ryan dalam You’ve Got Mail. Untuk saya , film ini masuk ke kategori kedua. Chemistry Gwyneth dan John Hannah heartwarming banget.

Film ini adalah salah satu film romantis yang mengambil ide cerita yang beda dan unik, bukan cerita cewek ketemu cowok biasa. Saya termasuk salah satu penggemar berat film romantis, dan menurut saya film ini jauh lebih baik dari film komedi romantis atau romantis baru-baru ini. Film ini bisa disandingkan dengan film-film romantis tahun 90an yang klasik dan bagus, seperti When Harry Met Sally dan Pretty Woman.

Mungkin saya terkesan memuji film ini terus, tapi saya memang merasa untuk ukuran film romantis, film ini bagus. Membuat saya berpikir, what if? Apa yang terjadi kalau saja saya tidak melakukan “ini” atau “itu”? Apa mungkin saya akan lebih bahagia dari sekarang? Atau lebih menderita? Film ini cocok untuk para hopeless romantic, atau para galauers :D

Harry Potter and the Deathly Hallows Part I


Waktu edar : 18 November 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di bioskop sama Kinola

Hal paling berkesan : It's Harry freaking Potter. How can a Harry Potter movie be LESS than memorable?

Harry Potter. Saya masih ingat kapan saya memegang buku Harry Potter pertama kali. Kelas 4 SD pertama kali saya baca buku Harry Potter, and it was magical. Saya terhipnotis oleh Harry Potter.

Jaman sekarang menyebutkan Harry Potter sebagai buku kesukaan dianggap klise. Buku segala umat. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang istimewa. Makanya saya suka kesal kalau disamakan dengan penggemar Harry Potter biasa. Karna untuk saya, saya bukan penggemar Harry Potter biasa.

Saya tau nama lengkap ketiga anak Harry Potter. Tahu nama lengkap dua anak Ron Weasley. Tahu nama suami Luna Lovegood, dan anak-anaknya. Saya tahu Harry dan teman-temannya bekerja apa di masa depan. Saya bahkan tahu bahwa Neville Longbottom menikahi Hannah Abbott, yang membeli Leaky Cauldron, dan dia sendiri bekerja sebagai guru Herbology. Dan saya tahu Cho Chang menikah dengan Muggle. Saya hafal nama semua murid Hogwarts yang satu angkatan dengan Harry Potter. Saya tahu lantai satu sampai lantai tujuh Hogwarts isinya apa aja. Saya tahu departemen apa saja yang ada di Ministry of Magic. Saya tahu semua toko di Diagon Alley dan Hogsmeade namanya apa aja, menjual apa saja. Saya membaca semua ini dari interview J.K. Rowling, dan mencari di semua penjuru internet. Singkat kata, I’m a Harry Potter addict.

Sejelek-jeleknya film Harry Potter, saya tetap merasa bagus.Untuk saya, Harry Potter can do no wrong. Harry Potter adalah salah satu buku favorit saya sepanjang masa. Dan ketika saya bicara seperti ini, saya tidak sekedar berkata aja. Saya hampir yakin bahwa sedikit sekali orang di Indonesia yang lebih ngefans Harry Potter dibanding saya.

Tapi saya bukan hanya penggemar Harry Potter. Saya juga penggemar film. Dan sebagai penggemar film sekaligus penggemar Harry Potter, menilai sebuah film Harry Potter lebih susah untuk saya. Film keenam Harry Potter kurang gregetnya untuk saya, tapi itu fakta yang saya sadari setelah berhari-hari. Hal ini karena saya susah untuk menerima bahwa Harry Potter bisa melakukan sesuatu yang salah. Belajar dari pengalaman yang terdahulu, saya berangkat menonton Harry Potter dengan tekad tidak akan sesubyektif itu lagi dalam menilai.

Dari film dimulai, sudah terlihat bahwa tone film ini akan dark seperti film sebelumnya. Ini bisa dimengerti, karena sekarang Harry Potter sudah tidak dalam naungan Hogwarts lagi. Dia dan kedua temannya, Ron dan Hermione, memutuskan untuk tidak kembali ke Hogwarts demi mencari kepingan jiwa-jiwa Voldemort. Hanya hal itu yang dapat membunuh Voldemort once and for all.

Film ketujuh ini memerlukan pengetahuan lumayan tentang film Harry Potter terdahulu. Para tokoh banyak mereferensikan tokoh terdahulu atau kejadian-kejadian yang telah terjadi yang tidak akan diketahui jika belum menonton film-film sebelumnya. Ini bisa dimengerti karena ini film ketujuh dari sebuah serial, jadi jika belum pernah menonton Harry Potter sebelumnya (and why not? Harry Potter sangat menghibur :D ) akan sedikit susah untuk mengikuti.

Tapi jika kalian tidak punya pengetahuan lumayan tentang Harry Potter, film ini masih bisa dinikmati, karena film ini bergantung pada atmosfer. Atmosfer film ini terbangun dengan baik, dan teman-teman saya juga terbawa akan adegan tegangnya (pencarian Horcrux membawa mereka ke Ministry of Magic misalnya, dan adegan disana diberikan dengan tone komedi yang berbeda dengan novelnya, but I love both), adegan sedihnya, dan pada dasarnya semua adegan membawa atmosfer atau mood tertentu.

Dari segi visual, I love it. Harry dan ketiga temannya dalam perjalanan dari kejaran anak buah Voldemort, Death Eater. Pengejaran itu membawa mereka ke banyak tempat. Ke hutan, ke pinggir pantai, ke kumpulan trailer-trailer rusak yang telah terbengkalai, ke padang rumput hijau. Lokasi-lokasinya beragam dan pengambilan gambarnya baik. Semua lokasi terkesan suram, tapi itu yang membuatnya sangat pas. Semua pengambilan gambar sangat wide dan sepi yang memberi kesan bahwa kali ini, Harry harus berjuang sendiri. Dunia sihir sudah tidak aman untuknya, dan dia harus berjuang sendiri.

Selain itu, ada scene pembacaan dongeng The Tales of Three Brothers oleh Hermione, yang digambarkan dalam bentuk kartun. Saya suka sekali. Pembacaan dongengnya terasa creepy beautiful, pas sekali dengan tone film ini. Walaupun saya sudah membaca buku ketujuh berkali-kali, dan saya juga sudah membaca buku The Tales of Beedle the Bard, pembacaan dongeng ini dengan kartun creepy dan suara Hermione yang pas membuat saya tekun mengikuti pembacaan tersebut.

Satu hal yang saya amati, Harry Potter isn’t for kids anymore this time. Harry, Hermione, dan Ron sudah menginjak umur 17 dan sekarang ada sedikit adegan seksual didalamnya. Dan ada perselisihan tentang kecemburuan, tentang cinta. Disini saya sangat merasa bahwa Warner Bros sangat beruntung mereka memilih cast yang pas. Harry, Hermione dan Ron (terutama Hermione dan Ron) is perfectly cast for these roles, like they were meant to be. Hermione, seorang gadis pintar yang know-it-all, dan Ron, yang tidak pede dan banyak melakukan hal konyol, sangat pas. Walaupun film ini lebih menfokuskan pada trio tersebut (lebih dari sebelumnya) tapi akting para pemain yang lain juga tidak kalah baik. Fans akan menghargai didatangkannya tokoh sebelumnya lagi, seperti Madame Maxime, Fleur Delacour, dan bahkan tokoh kecil (untuk veteran Harry Potter seperti saya) seperti Cormac McLaggen.

Film ini adalah part satu dari dua part, tapi pemenggalannya cukup baik. Teman-teman saya setelah menonton langsung menunggu-nunggu datangnya part 2 (saya tahu apa saja yang akan ditampilkan di part 2 jadi saya tidak dihitung). Untuk saya film ini sangat baik, tapi bukan film Harry Potter terbaik. Untuk saya yang terbaik tetap film pertama, karena film pertama penggambaran dunia sihirnya sangat magical dan terasa menarik kita kedalamnya. Film ini sayangnya, adalah film terakhir dari tujuh film. Susah untuk orang yang menonton cabutan atau yang belum menonton sama sekali untuk mengerti apa saja cerita yang ada didalamnya. Ini adalah film untuk orang-orang yang mengerti, paling tidak punya sedikit pengetahuan tentang Harry Potter, agar bisa menghargai filmnya dengan lebih baik. Untungnya banyak adegan penuh aksi didalamnya, jadi mungkin orang yang tidak punya pengetahuan tentang Harry Potter pun akan bisa menikmati filmnya sebagai film fantasi.

Akhir kata, film ini memuaskan saya. Sebagai penikmat film, saya suka dengan pengambilan gambarnya, dengan moodnya, dengan aktingnya. Sebagai penggemar Harry Potter, saya suka dengan sedikit sekalinya adegan yang dipotong dan didatangkannya tokoh kecil yang hanya bisa dihargai oleh penggemar. Dan sebagai reviewer, saya akan berkata : Two Thumbs Up!

Scott Pilgrim Vs. The World



Waktu edar : 13 Agustus 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di DVD sama adik

Hal paling berkesan : Visualnya? Mungkin

A movie that I’m most disappointed at in 2010.

Ada banyak hal yang membuat saya sangat antusias menonton Scott Pilgrim.

Pertama, Edgar Wright. Sutradara film ini menyutradarai dua film yang termasuk favorit saya. Film pertama adalah Shaun of the Dead, sebuah film komedi zombie yang berhasil menjadi film komedi yang baik sekaligus film zombie yang baik. Yang kedua adalah Hot Fuzz, sebuah film aksi komedi yang bahkan bisa memasukkan misteri berbalut komedi yang sangat baik menurut saya. Saya benar-benar suka kedua film itu, dan saya banyak sekali tertawa pada saat menonton. Saya orang yang tidak humoris. Saya jarang tertawa karena film komedi atau film kartun yang kata orang sangat lucu sekali pun. Tapi kedua film ini membuat saya tertawa lepas. Saya jarang tertawa karena komedi slapstick atau jokes yang obvious. Saya lebih sering tertawa karena dialog yang smart in a funny way. Jadi saya menunggu apa lagi karya Edgar Wright yang akan membawa saya tertawa dengan dialognya. Untuk saya Edgar Wright = Good

Kedua, Michael Cera. The IT guy on nerd role. Setiap ada peran-peran nerd pasti Michael Cera yang main. Dia memang cocok karena mukanya yang cute dan innocent. I love Michael Cera. Jadi menurut saya Edgar Wright + Michael Cera = Very Good.

Ketiga, video games. Saya adalah seorang gamer dan saya suka bermain game. Saya sudah menonton trailernya dan saya merasa film ini akan jadi love letters for video gamers. Dari referensi fighting game (layar K.O. dan hit combo) seperti Street Fighter atau Tekken, referensi RPG jaman dulu seperti Zelda dan Final Fantasy, dan banyak referensi Mario(musuh berubah jadi koin setelah dikalahkan) membuat saya merasa this is Edgar’s love letter for video games fan. Jadi Edgar Wright + Michael Cera + Video Games = Excellent.

Keempat, the comic. Film ini berdasarkan oleh komik dengan judul sama. Saya membaca komiknya dan menurut saya komik itu benar-benar a love letter for video games fan. Jadi dengan dibuatnya film saya merasa film ini akan jadi film yang sangat menghibur. Karena Edgar Wright + Michael Cera + Video games + great comics = perfection.

Tapi kenyataannya…. it’s not.

Mister Edgar Wright, kemana kalimat-kalimat lucu dan menusuk anda? Kemana humor anda yang beda tapi pas pada tempatnya? Hampir semua jokes di Scott Pilgrim predictable, dan so Hollywood. Saya mengerti anda biasanya membuat film untuk edar di negara anda, Inggris, tapi kenapa anda harus menurunkan selera humor anda untuk orang Amerika?

Dalam dua jam menonton, saya dan adik saya yang tertawa bersama saat menonton kedua film Mr.Wright sebelumnya, hanya tertawa kecil sesekali. Mungkin karena ekspektasi saya yang tinggi terhadap karya-karya Mr.Wright jadi saya sedikit merasa bosan menonton film ini. Kita cuma disuguhkan adegan-adegan fighting dengan style video game berulang-ulang. It’s just not that funny.

Saya yakin potensinya masih banyak. Karena ada beberapa dialog pintar yang terselip diantara adegan fighting berulang-ulang, jokes tentang vegan superpower yang tidak lucu, dan nyanyian tidak lucu yang dinyanyikan oleh The First Evil Ex boyfriend.

Hampir semua jokes pintar sudah dimasukkan didalam trailer, jadi pada saat saya menonton lagi, jokes itu sudah tidak mengena untuk saya. Ternyata hal-hal terbaik dalam film ini sudah ada di dalam trailernya. Saya tidak perlu menonton harusnya.

Mungkin Mr.Wright takut joke Inggris tidak mengena jika dibawa ke Amerika. Saya akui bahwa joke Inggris memang berbeda dan saya bisa menerima bahwa mungkin anda takut. Tapi kenapa semua dialog-dialog smart anda di film sebelumnya digantikan dengan adegan fighting berulang-ulang?

Saya akui memang film ini punya visual yang baik sekali. Film ini benar-benar menggunakan hal-hal dalam game dengan baik. Adegan fighting, adegan fighting, dan adegan fighting. Saya baru sadar bahwa semua visual yang baik berlangsung pada adegan fighting. Film ini punya plot yang sangat tipis, hampir tidak ada, dan hanya bergantung pada adegan fighting, adegan fighting, dan adegan fighting. Bukan berarti film tentang video games harus tanpa plot. Tron, sebuah film tahun 1982 yang sekuelnya akan rilis tahun depan, adalah sebuah film yang menggunakan teknologi video game, membuat kita masuk dalam video game, dengan plot yang sangat baik. Selama dua jam menonton itu saya tidak pernah merasa bosan. Plotnya menghibur dan saya sangat kagum dengan visualnya yang sangat baik untuk film tahun 1982. Kalau Tron bisa, kenapa anda tidak Mr.Wright?

Mungkin satu yang tidak bisa saya kritik adalah pemilihan musiknya. Musiknya bagus-bagus, dan setelah menonton saya jadi ingin mendownload albumnya. Tapi sebuah film yang lagunya jauh lebih memorable dari filmnya pasti mengandung sesuatu yang salah.

Entah mungkin hanya saya saja. Mungkin hanya saya saja yang merasa film ini tidak selucu itu and a waste of a good talent. Mungkin film ini menghibur. Saya juga terhibur sedikit dengan adegan fightingnya, kalau saja tidak diulang berulang-ulang. But this movie could be a lot more. So much potential. Mr.Wright, please make a movie that’s clever and funny again. Because I know you could do so much more.

Step Up 3D




Waktu edar : 6 Agustus 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : Di bioskop sama Sasmaya

Hal paling berkesan : Dance scene yang pake baju nyala-nyala. Sama 3Dnya.

Some people learn to dance… Others are born to.

Film 3D. Bisa dibilang ini adalah tren yang paling hit or miss. Beberapa merasa dengan adanya 3D, sebuah film akan terasa lebih menghibur. Tapi banyak juga yang merasa 3D itu useless dan hanya mengganggu jalannya cerita. Apapun pendapat anda, satu hal yang pasti adalah : 3D sells. Inilah sebabnya mengapa semakin banyak produser yang menambahkan ‘Bla bla bla 3D’ di filmnya. Saya pernah menonton beberapa film 3D. James Cameron’s Avatar salah satu diantaranya. Membandingkan versi 3D dan non 3Dnya (saya menonton kedua-duanya) saya bisa mengatakan dengan pasti bahwa saya lebih menikmati menonton versi non 3Dnya. Gambarnya lebih terang, lebih jelas dan untuk saya, 3D tidak menambahkan apa-apa dalam cerita.

Sekarang hadir Step Up 3D. Step Up mungkin adalah sebuah seri film yang tidak penting untuk dibuat. Step Up pertama adalah salah satu film yang melambungkan nama Channing Tatum sebagai pemain utamanya. Sebagai film dance, film itu sangat menghibur dan penuh dengan gerakan-gerakan dance yang keren. Sayangnya, Step Up 2 the Street, sekuelnya, adalah sebuah film yang tidak penting untuk dibuat dan untuk saya, tidak cukup menghibur untuk ditonton. Ketika saya mendengar pertama kali bahwa sekuel Step Up yang terbaru akan dibuat dalam bentuk 3D, saya langsung pesimis dan langsung menilai film ini sebagai salah satu dari puluhan film yang jatuh ke lubang godaan 3D.

Saya sangat salah. Film ini adalah film yang menghibur, dan saya belum pernah merasa terhibur seperti ini dengan 3D dari sebuah film.

Film ini bercerita tentang sekelompok street dancer yang bernaung di sebuah perkumpulan dancer bernama House of Pirates. Perkumpulan itu diketuai oleh Luke, yang mengubah warehouse orang tuanya menjadi studio dance. The Pirates bertekad untuk memenangkan World Jam, sebuah pertandingan dance internasional yang berhadiah 100 juta dolar.

Tokoh utama dari film ini terbagi dua, yaitu Moose dan Luke, dan jalan ceritanya berjalan paralel. Moose adalah penghubung antara Step Up sebelumnya dan Step Up ini, karena dia juga muncul di Step Up 2, bersama love interestnya, Camille. Storyline satu lagi adalah storyline Luke, yang menceritakan perjuangannya bersama Pirates, dan kisah cintanya bersama Natalie, seorang wanita yang ditemuinya di klub miliknya.

Apa sebenarnya yang membuat saya terhibur dari film ini? Dilihat dari jalan ceritanya film ini sangat biasa. Sama dengan Step Up sebelumnya. Bahkan sama dengan film-film dance lain seperti Bring it On dan sekuel-sekuelnya atau Center Stage. Bahkan kalau bisa disamakan, masih ada kesamaan dengan High School Musical. Aktingnya so so, dan tidak ada yang istimewa dari jalan ceritanya.

Mungkin yang membuat saya terhibur adalah, semua kesimpelan dan keringanan film ini membuat otak saya rileks. Tidak perlu berpikir banyak dan tidak perlu menganalisa. Film ini adalah film ringan yang paling menghibur saya tahun ini.

Pertama, adegan dancenya. Adegan dance di film ini tentu saja keren dan memenuhi 2/3 filmnya. Adegan dance dance yang keren terus saja disajikan kepada kita. Jadi untuk yang tidak terhibur melihat adegan-adegan street dance, jangan harap akan terhibur menonton film ini.

Kedua, 3Dnya. Seperti yang saya bilang diatas, film ini adalah film yang membuat pikiran saya berubah soal 3D. Ketika menonton film ini, sangat terasa bahwa sutradara film ini memang sengaja membuat film untuk 3D. Para dancer mengeluarkan kaki dan tangannya dari layar, meloncat keluar dari layar, dan banyak lagi 3D yang diperlihatkan di film ini. 3Dnya tidak cheesy seperti Journey to the Center of the Earth misalnya, tapi tidak juga tidak berguna seperti Avatar dan Toy Story. 3D movie bayangan saya ya seperti ini.

Ketiga dan paling tidak penting adalah eye candy. Pemain Lukenya adalah the ultimate eye candy dan menambah rasa terhibur saya menonton film ini.

Overall, film ini sebenarnya film yang sangat sangat ringan. But sometimes all we need is some smile in our lives. This is the ultimate enjoyable movie this year :)

NB : Sebelum film ini mulai, ada 3 trailer yang diputar. Ketiganya dalam 3D. Filmnya berturut-turut adalah Tron Legacy, Dreamworks’ Megamind, dan Disney’s Tangled. Ketiganya menghibur, dan ketiganya menggunakan 3D dengan baik. Keseluruhan trailer itu ditambah dengan film ini mengubah pendapat saya tentang 3D. The future of 3D movies can be bright after all.

Vampires Suck


Waktu edar : 18 Agustus 2010

Waktu menonton : September 2010

Media menonton dan teman menonton : di ipod touch dalam perjalanan ke Jakarta

Hal paling berkesan : Errrm, quotes tentang Jonas Brother

Becca : Your skin is pale white. You dress fashionably. And you obstene from sex. I know what you are.

Edward : Say it. Out loud. Say it.

Becca : Jonas Brother.

Pasti pertama kali baca ini kalian yang baca langsung mikir, apaaaaa? Ngapain juga baca review film sampah banget gini?

Dari awal saya mau bilang dulu. Iya film ini sampah. Tapi bedanya film ini dari parodi – parodi lain besutan sutradara yang sama, Vampires Suck lebih mengedepankan parodi dalam bentuk dialog, dibandingkan parodi sebelumnya seperti Disaster Movie atau Epic Movie. Film – film sebelumnya lebih mengedepankan humor slapstick yang sangat sangat sangat sangat tidak lucu. Pada dasarnya saya tidak suka adegan slapstick, apalagi slapstick tidak lucu. Saya menonton Disaster Movie di TV, dan saya sudah merasa itu siksaan. Walaupun saya ga beli DVD bajakannya, saya tetap merasa rugi dua jam waktu saya dihabiskan untuk nonton film itu. Tapi Vampires Suck beda karena humornya lebih kearah dialog dan making fun of scenes in Twilight. Bukan berarti tidak ada adegan slapstick ga jelas. Ada, tapi lebih sedikit. Setelah nonton ini saya baru nyadar betapa ridiculousnya Twilight. Betapa lebaynya.

Satu hal tentang plot. Film ini replika scene by scene Twilight. Tapi anehnya dengan plot seperti itu, film ini bener – bener ridiculous (karena memang itu tujuannya). Dengan scene by scene yang sama, film ini bisa selebay ini, saya baru nyadar betapa konyol dan lebaynya Twilight yang asli. Ada begitu banyak hal konyol yang bisa di make fun of. Dari Jacob yang ga pernah pake baju. Dialog ‘You breathing is gift enough for me’. Adegan ‘Ouch papercut’. Vampires Suck bahkan ga harus berusaha untuk mencari hal – hal yang konyol, karena Twilight sendiri filmnya sudah konyol.

Pemain Beccanya berbicara persis seperti Kristen Stewart. Cara bicara yang ga jelas. Muka Edward di film ini juga menunjukkan ekspresi kaya di film Twilight. Asem. Ini salah satu dialog waktu Becca bertanya kenapa Jacob ga pernah pake baju.

Becca : Jacob, why did you just take off your shirt?

Jacob : My contract says I have to, every 10 minutes of screen-time.

Film ini bukan film bagus. Juga bukan film komedi yang lucu. Film ini cuma sebuah film parodi yang memparodikan semua yang konyol tentang vampire. Tapi mereka diuntungkan dengan source film yang sudah konyol dari sananya. Tidak perlu berusaha terlalu banyak, sudah banyak bahan untuk diparodikan. Saya juga masih merasa rugi jika disuruh nonton film ini di bioskop. Tapi kelebihan dari film ini adalah, mereka mengejek semua hal konyol yang juga saya rasakan waktu nonton Twilight.

Kalau ingin menonton film ini, anggaplah ini bukan film blockbuster. Anggaplah ini film amatir. Film Youtube. Kalau ekspektasi kalian rendah seperti ini, mungkin kalian akan bisa menertawakan bersama adegan – adegan disini. Kalau tidak, kalian akan merasa seperti mayoritas orang yang menonton film ini. Yaitu ‘Apaan banget film ini, sampah banget’.

NB : Walaupun saya udah menghina – hina Twilight, sebenernya saya lumayan suka filmnya. Menurut saya lumayan menghibur ko. Sayangnya memang film ini sangat sangat lebay. Jadi gampang diparodiin.

Daybreakers


Waktu edar : 8 January 2010

Waktu menonton : Juli 2010

Media menonton dan teman menonton : di DVD, sama adik saya

Hal paling berkesan : World buildingnya. Saya suka penggambaran dunianya.


Saya punya banyak film guilty pleasure. Salah satunya, saya suka menonton film survival. Contohnya film-film post-apocalyptic seperti I am Legend dan film-film zombie seperti Diary of the Dead atau 30 Days of Night. Saya suka melihat masa depan yang berbeda. Entah masa depan yang berbeda karna serangan makhluk atau dunia yang berbeda karna sistem yang berbeda. Pokonya itu film guilty pleasure saya.

Waktu pertama saya mendengar tentang Daybreakers, saya langsung ingin nonton. Premis filmnya, dunia dimana hampir seluruh populasi manusia di dunia telah berubah menjadi vampir, menarik untuk saya. Saya suka membayangkan bayangan masa depan yang divisualisasikan dalam film. Film ini mempunyai ide yang bagus. Sayangnya, deep down, it’s just another action movie.

Film ini dibuka dengan memperlihatkan masyarakat yang menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Perbedaannya adalah suasana yang selalu malam, warga yang bergigi taring menyeramkan, dan minuman – minuman di warung pinggir jalan adalah darah. Ya, di dunia Daybreakers, diceritakan bahwa sebuah epidemik menyebabkan hampir seluruh populasi manusia telah berubah menjadi vampir. Mereka tidak pernah bertambah tua, memulai hari saat matahari terbenam, dan meminum darah. Tapi ada masalah. Persediaan darah makin lama makin menipis. Manusia semakin sedikit dan tidak ada darah lagi yang bisa diminum. Seorang vampir yang mencoba menciptakan darah sintesis, Edward (Ethan Hawke), secara tidak sengaja bertemu dengan grup manusia yang melarikan diri dari kejaran polisi. Seperti yang sudah diduga, Edward membantu grup pemberontak tersebut dan menemukan sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Yang pertama saya bahas, dan titik paling positif dari film ini untuk saya, adalah penggambaran dunia Daybreakers ini. Film ini bertempat pada tahun 2019, ketika hampir seluruh populasi bumi adalah vampir. Vampir memulai aktivitas pada saat matahari terbenam. Anak – anak vampir, yang selamanya akan menjadi anak-anak, bersekolah pada malam hari juga. Segala minuman mengandung darah, dan kita bisa membeli darah sesuai golongan darah. Hampir semua rumah dilengkapi dengan Subwalk, sebuah jalan bawah tanah yang menghubungkan semua rumah agar aman berjalan pada siang hari. Orang kaya yang mampu, dapat memodifikasi mobilnya agar dilengkapi dengan Daylight Driving, agar bisa menyetir pada siang hari. Gambaran sebuah dunia vampir, yang modern dan dystopian. Saya suka penggambarannya dan detail-detail kecilnya.

Dan… itulah yang paling baik dari film ini. Jangan salah, film ini menghibur dan ide ceritanya bagus. Tapi kesana-sananya, it’s just another action movie. And it’s a bit short. Banyak gore disana-sini, penuh adegan action. Sayang sekali, padahal saat-saat yang paling saya nikmati justru saat kita diperlihatkan dunia mereka. Dunia vampir ini. I want more of their world. Tapi pada akhirnya film ini menjadi film klise action biasa.

Tidak ada yang bisa saya komentari aktingnya. Mereka bermain cukup, untuk sebuah film survival. Itu yang diinginkan. Ini bukan Rachel Getting Married atau drama kaliber Oscar lain. Akting mereka tidak akan banyak diperhatikan disini. Untuk saya akting mereka cukup, dan hanya cukup.

Ketika credit title muncul, entah kenapa saya merasa kurang. Belum puas. Ini bukan berarti filmnya jelek. Filmnya menghibur untuk saya. Tapi saya seperti melihat banyak potensi yang masih mengendap di dalam film dan tidak bisa keluar. Film action menghibur tapi klise ini can be so much more. Dan untuk itu saya belum puas. Kalau saja potensi dari ide cerita film ini bisa lebih digali lagi, pasti bisa meningkatkan kenikmatan menonton sampai berapa puluh kali. Untuk sekarang, saya harus cukup puas dengan sebuah film action yang menarik dan menghibur. It can be so much more though.