The Duff: Designated Ugly Fat Friend

Friday, December 24, 2010

The Duff: Designated Ugly Fat Friend

A novel by Kody Keplinger

Waktu edar : 7 September 2010

Waktu menonton : November 2010

Media membaca :
ebook di Stanza for iPhone

Hal paling berkesan :
The adorable bad boy, Wesley Rush :)

The DUFF. Designated Ugly Fat Friend.

Do you ever feel like you’re the ugly one among your friends? It’s not that you’re ugly or fat, it’s just that your UGLIER and FATTER than all your BFFs. A lot of people have days like that. Days when you feel like crap and just felt ugly. I’m sure most girls have days like that. Your thigh are as big as a cow, you have a zit in your face, or you look just plain ugly. I’m sure that no matter how beautiful you are, at least once in your life, you’ve had days like that. Days when you feel like crap.

Bianca had days like that too. Her friends are all skinnier and prettier than her. She’s not unactractive, but let’s just say she’s not gonna attract attention when she’s with her friends.

One night when she’s out with her oh-so-gorgeous friends, the notorious womanizer Wesley Rush came to her and explain that to him, she’s a DUFF. Designated Ugly Fat Friend. The one that every group of friends had. The one who’s uglier and fatter than any of them. And she replied with pouring her coke on his face.

And that’s what’s good about this book.

Okay, let’s rewind.

This is a YA book, or Young Adult book. It’s one of my guilty pleasure to read YA book, but I mostly read fantasy or supernatural. Only a couple books and a couple of authors that I read and enjoyed in the contemporary genre. And this book, I enjoyed. Very much so.

This book, at first glance, is just a typical book. The bad boy who’s so irresistibly handsome. The girl who made him change. It all sounds like a premise of your typical romance book. Oh, but it’s so much more.

For starter, Bianca is not your typical heroine. She’s smart, cynical, snarky, and she doesn’t let anyone treat her like crap. She stands up for herself. And maybe more conventional reader will argue with the choices she made, but I understand perfectly. Sometimes life just gets unbearably hard, and you just got to run away for a while.

And next, the friends. The oh-so-gorgeous friends. They’re not bitchy, they’re not shallow. They’re nice. They love Bianca. And they’re genuinely good friends. Really good friends. When I read it, it reminds me of my friends. My true friends, the one that knew my deepest darkest secret and still love me for it anyway.

And here comes the love interest. Wesley Rush. WOW. He’s everything you wanted in a bad boy. Reading this, I realize once again why a lot of girls fall for bad boy. They’re just so.. irresistible. It’s like a car crash. A car crash is messy and dangerous, but when you encounter car crash on the road, you just can’t resist to look. And this bad boy turned good.. WOW. I think I may be falling in love a bit with a character from a book. It reminds me of bad boys in my past. Bad boys is dangerous… but they’re exciting as hell.

Probably the most controversial one, is the level of sex and profanity in here. It’s a YA book, but it’s for older YA. There’s a lot of sex scene in here. And I’m saying A LOT. People who took offense in that kind of thing would surely be put off by this book. A lot of reviews I read said that the depiction of teenage sex in this book is really realistic. Maybe it is in America, but it sure as hell not in Indonesia. And the constant swearing. Fuck. Damn. Shit. Personally, I didn’t took offense about this in the book, mostly because I think that it is appropriately placed. But it’s just me.

This book really spoke to me in a lot of way. When I think about it, we are all DUFFs. This book never really said literally that Bianca is fat and ugly. This book only said that she FEELS fat and ugly. And God knows how many times I feel fat and ugly beside my friends. My friends that, doesn’t matter how gorgeous and prettier and skinnier they are, is my best friends. The one who stood by me no matter what I told them, or what I’ve done. They’re just there for me, no questions asked.

And a lot of us knew what it’s like to fall in love with a bad boy. A boy who treats you all wrong, but there’s something. Something that draws us near. We hoped that we’re the girl who’s gonna change this bad boy, but what we got is a broken heart. Okay maybe it’s getting too personal for me, but what I’m saying is, in a way, a lot of girls feel that they’re DUFFs.

And actually, how can you not melt when a cute bad boy says

Wesley Rush doesn’t chase girls, but I’m chasing you.

Easy A


Waktu edar : 17 September 2010

Waktu menonton : December 2010

Media menonton dan teman menonton : dirumah sendiri

Hal paling berkesan : Emma Stone!

Dimana seorang Emma Stone mendapatkan nominasi Golden Globe untuk sebuah film remaja

Dari berpuluh-puluh film remaja yang keluar setiap tahunnya, bisa dihitung dengan satu jari mana film remaja yang layak tonton atau tidak. Mungkin karena orang-orang di Hollywood sana mengira remaja dapat dibodoh-bodohi dengan membuat film remaja yang so so dengan pemain ganteng, tetapi tetap laku. But here’s the deal : it works. Most of the time. Saya adalah penikmat film yang serius dan yang tidak serius. Saya menonton film-film pemenang Oscar. Saya nonton film berat. Tapi saya juga menonton A Cinderella’s Story, The Princess Diaries, Mean Girls. Dan untuk saya film-film tersebut menghibur. Dan saya juga korban penonton film yang sudah tahu so so, tapi karena kegantengan pemainnya, saya tetap tonton.

Karena stereotype itulah penikmat film yang mengaku kaliber tinggi jarang mau menonton film remaja. Dan karena itulah mereka akan melewatkan sebuah film remaja yang cerdas, cute, dan cocok ditonton oleh semuanya, bukan hanya penggemar film. Juno, sebuah film yang cerdas juga, mungkin terlalu cerdas untuk film remaja. Kenapa? Karena pengamatan saya terhadap teman-teman saya yang memang buta film dan menonton film hanya untuk rekreasi. Mereka tidak suka Juno karena untuk mereka tidak menghibur. Too much dialogue.

Easy A menceritakan tentang Olivia Penderghast (yang dimainkan dengan sangat apik oleh Emma Stone) yang merasa invisible di SMAnya, seperti banyak anak SMA lainnya. Karena malu menceritakan weekendnya yang dihabiskan dirumah saja, dia mengarang cerita tentang kencannya dengan seorang cowo kuliahan dimana she lost her virginity. Gosip itu menyebar dengan cepat ke seluruh sekolah, dan Olivia berubah dari invisible girl menjadi whore girl dalam hitungan satu hari.

Masalah Olivia bertambah ketika dia membantu sahabatnya yang gay untuk berpura-pura having sex supaya sahabatnya tidak di bully di sekolahnya. Setelah itu, 80 persen populasi sekolah yang tidak tahu yang sebenarnya mencap dia sebagai pelacur, dan 20 persen sisanya , yaitu para nerd dan outcast, meminta bantuan dia untuk berpura-pura having sex dengan mereka.

Ini sebuah film komedi remaja tentang virginity. Tema ini sama seringnya dilakukan seperti film romantis antara si kaya dan si miskin. Tapi entah kenapa, film ini adalah film komedi yang sangat menarik dan cerdas.

Pertama, orang tua Olivia. Cara mereka mengatasi masalah Olivia sangat real, dan sangat cerdas. Ini adalah gambaran orang tua remaja yang seharusnya, bukan orang tua di film-film lain. Orang tua Olivia, bersama dengan orang tua Juno, harus masuk ke daftar orang tua terpuji dalam film.

Kedua, Emma Stone sebagai Olivia. Mungkin yang belum menonton film ini akan heran melihat Emma mendapatkan nominasi Golden Globe. Saya tidak. Emma disini sangat endearing, sweet, dan real. Dia bukan remaja yang dibodoh-bodohi. Menurut saya, Emma Stone dan tokoh Olivia ini lah 80 persen alasan mengapa Easy A bagus.

This is Emma Stone’s movie. I love this movie because of Emma Stone, because of Olivia Penderghast. Sebuah film remaja biasa yang mendapatkan nominasi Golden Globe. 30 persen alasannya adalah karakter Olivia yang terbangun kuat, tapi 70 persen alasannya adalah karena Emma Stone.

Emma, you have a great future ahead of you. Looking forward for your next movie :)

Sliding Doors

Waktu edar : 24 April 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di komputer, film yang didownload

Hal paling berkesan : Semua. Suka ide ceritanya

(Hampir) semua cewek punya mimpi. Mimpi kalau di luar sana ada satu true love yang menunggu kita. Orang yang ditakdirkan, bagaimanapun caranya, untuk bertemu dengan kita. Soulmate. Film ini menggunakan mimpi itu, dan membumbuinya dengan skenario “What if“. Apa yang terjadi kalau kita tidak putus dengan mantan kita misalnya, atau apa yang terjadi kalau kita memilih orang yang “itu” dibanding pacar kita sekarang. Apa jangan-jangan mereka soulmate kita? Semua orang pasti pernah memikirkan hal seperti itu.

Helen (Gwyneth Paltrow) adalah seorang wanita karir yang datang ke tempat kerjanya suatu hari dan mendapati dirinya dipecat. Sementara itu, pacarnya Jerry (John Lynch) dirumah sedang menghangatkan tempat tidurnya dengan orang lain, mantannya Lydia (Jeanne Tripplehorn). Helen pulang dengan nyaris tertinggal subway, bertemu cowok charming di subway bernama James (John Hannah) dan pulang tepat waktu untuk mendapati pacarnya sedang “bermain” bersama Lydia. Kejadian-kejadian yang menyusul membawa perubahan besar untuk kehidupan Helen yang lebih baik. Mungkin.

Waktu kemudian dibalik (dan scenenya literally diputar balik) untuk memperlihatkan skenario paralel, dimana Helen telat beberapa detik karena seorang anak kecil menghalangi jalannya dan dia telat naik ke subway. Helen pulang naik taksi dan dia sampai rumah pada saat Lydia sudah pulang dan Jerry sudah menunggu dengan setia. Helen yang ini tidak tahu apa-apa tentang penghianatan pacarnya, dan tetap menjalani hidupnya bersama Jerry tanpa tahu apa yang Jerry lakukan dibelakangnya.

Film ini switch bolak balik scene di kedua dunia paralel ini. Untungnya kita tidak perlu bingung Helen yang mana yang kita lihat, karena satu Helen mengganti potongan rambutnya di pertengahan film. Ide cerita seperti ini sebenarnya mirip dengan Run Lola Run dan The Butterfly Effect, meskipun film ini keluar lebih dulu, tahun 1998. Dibandingkan dengan kedua film itu, mungkin film ini lebih “ringan” karena pada dasarnya ini adalah film romantis after all.

Pertama alasan saya ingin menonton film ini adalah ide ceritanya. Saya sudah menonton The Butterfly Effect dan apapun yang kritikus film lain bilang, saya suka film itu karena ide ceritanya. The Butterfly Effect lebih dark dan berat, dan Run Lola Run lebih action, tapi film ini adalah versi romantisnya.

Untuk saya, eksekusi ide cerita ini dalam film romantis ternyata pas sekali. Film ini memberikan harapan untuk para hopeless romantic diluar sana (termasuk saya) bahwa kalimat “Kalau jodoh ga kemana” itu memang benar. Gwyneth Paltrow disini bermain dengan sangat lovable, begitu juga dengan John Hannah sebagai James. Untuk saya chemistry dua orang pemain film romantis itu ada dua jenis. Yang satu passionate, hot, dan bikin greget. Contohnya adalah Richard Gere dan lawan mainnya dalam An Officer and a Gentleman. Hot banget tapi dapet banget. Yang kedua adalah comfortable, warm, dan membuat kita senyum. Contohnya Tom Hanks dan Meg Ryan dalam You’ve Got Mail. Untuk saya , film ini masuk ke kategori kedua. Chemistry Gwyneth dan John Hannah heartwarming banget.

Film ini adalah salah satu film romantis yang mengambil ide cerita yang beda dan unik, bukan cerita cewek ketemu cowok biasa. Saya termasuk salah satu penggemar berat film romantis, dan menurut saya film ini jauh lebih baik dari film komedi romantis atau romantis baru-baru ini. Film ini bisa disandingkan dengan film-film romantis tahun 90an yang klasik dan bagus, seperti When Harry Met Sally dan Pretty Woman.

Mungkin saya terkesan memuji film ini terus, tapi saya memang merasa untuk ukuran film romantis, film ini bagus. Membuat saya berpikir, what if? Apa yang terjadi kalau saja saya tidak melakukan “ini” atau “itu”? Apa mungkin saya akan lebih bahagia dari sekarang? Atau lebih menderita? Film ini cocok untuk para hopeless romantic, atau para galauers :D

Harry Potter and the Deathly Hallows Part I


Waktu edar : 18 November 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di bioskop sama Kinola

Hal paling berkesan : It's Harry freaking Potter. How can a Harry Potter movie be LESS than memorable?

Harry Potter. Saya masih ingat kapan saya memegang buku Harry Potter pertama kali. Kelas 4 SD pertama kali saya baca buku Harry Potter, and it was magical. Saya terhipnotis oleh Harry Potter.

Jaman sekarang menyebutkan Harry Potter sebagai buku kesukaan dianggap klise. Buku segala umat. Tidak ada yang spesial. Tidak ada yang istimewa. Makanya saya suka kesal kalau disamakan dengan penggemar Harry Potter biasa. Karna untuk saya, saya bukan penggemar Harry Potter biasa.

Saya tau nama lengkap ketiga anak Harry Potter. Tahu nama lengkap dua anak Ron Weasley. Tahu nama suami Luna Lovegood, dan anak-anaknya. Saya tahu Harry dan teman-temannya bekerja apa di masa depan. Saya bahkan tahu bahwa Neville Longbottom menikahi Hannah Abbott, yang membeli Leaky Cauldron, dan dia sendiri bekerja sebagai guru Herbology. Dan saya tahu Cho Chang menikah dengan Muggle. Saya hafal nama semua murid Hogwarts yang satu angkatan dengan Harry Potter. Saya tahu lantai satu sampai lantai tujuh Hogwarts isinya apa aja. Saya tahu departemen apa saja yang ada di Ministry of Magic. Saya tahu semua toko di Diagon Alley dan Hogsmeade namanya apa aja, menjual apa saja. Saya membaca semua ini dari interview J.K. Rowling, dan mencari di semua penjuru internet. Singkat kata, I’m a Harry Potter addict.

Sejelek-jeleknya film Harry Potter, saya tetap merasa bagus.Untuk saya, Harry Potter can do no wrong. Harry Potter adalah salah satu buku favorit saya sepanjang masa. Dan ketika saya bicara seperti ini, saya tidak sekedar berkata aja. Saya hampir yakin bahwa sedikit sekali orang di Indonesia yang lebih ngefans Harry Potter dibanding saya.

Tapi saya bukan hanya penggemar Harry Potter. Saya juga penggemar film. Dan sebagai penggemar film sekaligus penggemar Harry Potter, menilai sebuah film Harry Potter lebih susah untuk saya. Film keenam Harry Potter kurang gregetnya untuk saya, tapi itu fakta yang saya sadari setelah berhari-hari. Hal ini karena saya susah untuk menerima bahwa Harry Potter bisa melakukan sesuatu yang salah. Belajar dari pengalaman yang terdahulu, saya berangkat menonton Harry Potter dengan tekad tidak akan sesubyektif itu lagi dalam menilai.

Dari film dimulai, sudah terlihat bahwa tone film ini akan dark seperti film sebelumnya. Ini bisa dimengerti, karena sekarang Harry Potter sudah tidak dalam naungan Hogwarts lagi. Dia dan kedua temannya, Ron dan Hermione, memutuskan untuk tidak kembali ke Hogwarts demi mencari kepingan jiwa-jiwa Voldemort. Hanya hal itu yang dapat membunuh Voldemort once and for all.

Film ketujuh ini memerlukan pengetahuan lumayan tentang film Harry Potter terdahulu. Para tokoh banyak mereferensikan tokoh terdahulu atau kejadian-kejadian yang telah terjadi yang tidak akan diketahui jika belum menonton film-film sebelumnya. Ini bisa dimengerti karena ini film ketujuh dari sebuah serial, jadi jika belum pernah menonton Harry Potter sebelumnya (and why not? Harry Potter sangat menghibur :D ) akan sedikit susah untuk mengikuti.

Tapi jika kalian tidak punya pengetahuan lumayan tentang Harry Potter, film ini masih bisa dinikmati, karena film ini bergantung pada atmosfer. Atmosfer film ini terbangun dengan baik, dan teman-teman saya juga terbawa akan adegan tegangnya (pencarian Horcrux membawa mereka ke Ministry of Magic misalnya, dan adegan disana diberikan dengan tone komedi yang berbeda dengan novelnya, but I love both), adegan sedihnya, dan pada dasarnya semua adegan membawa atmosfer atau mood tertentu.

Dari segi visual, I love it. Harry dan ketiga temannya dalam perjalanan dari kejaran anak buah Voldemort, Death Eater. Pengejaran itu membawa mereka ke banyak tempat. Ke hutan, ke pinggir pantai, ke kumpulan trailer-trailer rusak yang telah terbengkalai, ke padang rumput hijau. Lokasi-lokasinya beragam dan pengambilan gambarnya baik. Semua lokasi terkesan suram, tapi itu yang membuatnya sangat pas. Semua pengambilan gambar sangat wide dan sepi yang memberi kesan bahwa kali ini, Harry harus berjuang sendiri. Dunia sihir sudah tidak aman untuknya, dan dia harus berjuang sendiri.

Selain itu, ada scene pembacaan dongeng The Tales of Three Brothers oleh Hermione, yang digambarkan dalam bentuk kartun. Saya suka sekali. Pembacaan dongengnya terasa creepy beautiful, pas sekali dengan tone film ini. Walaupun saya sudah membaca buku ketujuh berkali-kali, dan saya juga sudah membaca buku The Tales of Beedle the Bard, pembacaan dongeng ini dengan kartun creepy dan suara Hermione yang pas membuat saya tekun mengikuti pembacaan tersebut.

Satu hal yang saya amati, Harry Potter isn’t for kids anymore this time. Harry, Hermione, dan Ron sudah menginjak umur 17 dan sekarang ada sedikit adegan seksual didalamnya. Dan ada perselisihan tentang kecemburuan, tentang cinta. Disini saya sangat merasa bahwa Warner Bros sangat beruntung mereka memilih cast yang pas. Harry, Hermione dan Ron (terutama Hermione dan Ron) is perfectly cast for these roles, like they were meant to be. Hermione, seorang gadis pintar yang know-it-all, dan Ron, yang tidak pede dan banyak melakukan hal konyol, sangat pas. Walaupun film ini lebih menfokuskan pada trio tersebut (lebih dari sebelumnya) tapi akting para pemain yang lain juga tidak kalah baik. Fans akan menghargai didatangkannya tokoh sebelumnya lagi, seperti Madame Maxime, Fleur Delacour, dan bahkan tokoh kecil (untuk veteran Harry Potter seperti saya) seperti Cormac McLaggen.

Film ini adalah part satu dari dua part, tapi pemenggalannya cukup baik. Teman-teman saya setelah menonton langsung menunggu-nunggu datangnya part 2 (saya tahu apa saja yang akan ditampilkan di part 2 jadi saya tidak dihitung). Untuk saya film ini sangat baik, tapi bukan film Harry Potter terbaik. Untuk saya yang terbaik tetap film pertama, karena film pertama penggambaran dunia sihirnya sangat magical dan terasa menarik kita kedalamnya. Film ini sayangnya, adalah film terakhir dari tujuh film. Susah untuk orang yang menonton cabutan atau yang belum menonton sama sekali untuk mengerti apa saja cerita yang ada didalamnya. Ini adalah film untuk orang-orang yang mengerti, paling tidak punya sedikit pengetahuan tentang Harry Potter, agar bisa menghargai filmnya dengan lebih baik. Untungnya banyak adegan penuh aksi didalamnya, jadi mungkin orang yang tidak punya pengetahuan tentang Harry Potter pun akan bisa menikmati filmnya sebagai film fantasi.

Akhir kata, film ini memuaskan saya. Sebagai penikmat film, saya suka dengan pengambilan gambarnya, dengan moodnya, dengan aktingnya. Sebagai penggemar Harry Potter, saya suka dengan sedikit sekalinya adegan yang dipotong dan didatangkannya tokoh kecil yang hanya bisa dihargai oleh penggemar. Dan sebagai reviewer, saya akan berkata : Two Thumbs Up!

Scott Pilgrim Vs. The World



Waktu edar : 13 Agustus 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : di DVD sama adik

Hal paling berkesan : Visualnya? Mungkin

A movie that I’m most disappointed at in 2010.

Ada banyak hal yang membuat saya sangat antusias menonton Scott Pilgrim.

Pertama, Edgar Wright. Sutradara film ini menyutradarai dua film yang termasuk favorit saya. Film pertama adalah Shaun of the Dead, sebuah film komedi zombie yang berhasil menjadi film komedi yang baik sekaligus film zombie yang baik. Yang kedua adalah Hot Fuzz, sebuah film aksi komedi yang bahkan bisa memasukkan misteri berbalut komedi yang sangat baik menurut saya. Saya benar-benar suka kedua film itu, dan saya banyak sekali tertawa pada saat menonton. Saya orang yang tidak humoris. Saya jarang tertawa karena film komedi atau film kartun yang kata orang sangat lucu sekali pun. Tapi kedua film ini membuat saya tertawa lepas. Saya jarang tertawa karena komedi slapstick atau jokes yang obvious. Saya lebih sering tertawa karena dialog yang smart in a funny way. Jadi saya menunggu apa lagi karya Edgar Wright yang akan membawa saya tertawa dengan dialognya. Untuk saya Edgar Wright = Good

Kedua, Michael Cera. The IT guy on nerd role. Setiap ada peran-peran nerd pasti Michael Cera yang main. Dia memang cocok karena mukanya yang cute dan innocent. I love Michael Cera. Jadi menurut saya Edgar Wright + Michael Cera = Very Good.

Ketiga, video games. Saya adalah seorang gamer dan saya suka bermain game. Saya sudah menonton trailernya dan saya merasa film ini akan jadi love letters for video gamers. Dari referensi fighting game (layar K.O. dan hit combo) seperti Street Fighter atau Tekken, referensi RPG jaman dulu seperti Zelda dan Final Fantasy, dan banyak referensi Mario(musuh berubah jadi koin setelah dikalahkan) membuat saya merasa this is Edgar’s love letter for video games fan. Jadi Edgar Wright + Michael Cera + Video Games = Excellent.

Keempat, the comic. Film ini berdasarkan oleh komik dengan judul sama. Saya membaca komiknya dan menurut saya komik itu benar-benar a love letter for video games fan. Jadi dengan dibuatnya film saya merasa film ini akan jadi film yang sangat menghibur. Karena Edgar Wright + Michael Cera + Video games + great comics = perfection.

Tapi kenyataannya…. it’s not.

Mister Edgar Wright, kemana kalimat-kalimat lucu dan menusuk anda? Kemana humor anda yang beda tapi pas pada tempatnya? Hampir semua jokes di Scott Pilgrim predictable, dan so Hollywood. Saya mengerti anda biasanya membuat film untuk edar di negara anda, Inggris, tapi kenapa anda harus menurunkan selera humor anda untuk orang Amerika?

Dalam dua jam menonton, saya dan adik saya yang tertawa bersama saat menonton kedua film Mr.Wright sebelumnya, hanya tertawa kecil sesekali. Mungkin karena ekspektasi saya yang tinggi terhadap karya-karya Mr.Wright jadi saya sedikit merasa bosan menonton film ini. Kita cuma disuguhkan adegan-adegan fighting dengan style video game berulang-ulang. It’s just not that funny.

Saya yakin potensinya masih banyak. Karena ada beberapa dialog pintar yang terselip diantara adegan fighting berulang-ulang, jokes tentang vegan superpower yang tidak lucu, dan nyanyian tidak lucu yang dinyanyikan oleh The First Evil Ex boyfriend.

Hampir semua jokes pintar sudah dimasukkan didalam trailer, jadi pada saat saya menonton lagi, jokes itu sudah tidak mengena untuk saya. Ternyata hal-hal terbaik dalam film ini sudah ada di dalam trailernya. Saya tidak perlu menonton harusnya.

Mungkin Mr.Wright takut joke Inggris tidak mengena jika dibawa ke Amerika. Saya akui bahwa joke Inggris memang berbeda dan saya bisa menerima bahwa mungkin anda takut. Tapi kenapa semua dialog-dialog smart anda di film sebelumnya digantikan dengan adegan fighting berulang-ulang?

Saya akui memang film ini punya visual yang baik sekali. Film ini benar-benar menggunakan hal-hal dalam game dengan baik. Adegan fighting, adegan fighting, dan adegan fighting. Saya baru sadar bahwa semua visual yang baik berlangsung pada adegan fighting. Film ini punya plot yang sangat tipis, hampir tidak ada, dan hanya bergantung pada adegan fighting, adegan fighting, dan adegan fighting. Bukan berarti film tentang video games harus tanpa plot. Tron, sebuah film tahun 1982 yang sekuelnya akan rilis tahun depan, adalah sebuah film yang menggunakan teknologi video game, membuat kita masuk dalam video game, dengan plot yang sangat baik. Selama dua jam menonton itu saya tidak pernah merasa bosan. Plotnya menghibur dan saya sangat kagum dengan visualnya yang sangat baik untuk film tahun 1982. Kalau Tron bisa, kenapa anda tidak Mr.Wright?

Mungkin satu yang tidak bisa saya kritik adalah pemilihan musiknya. Musiknya bagus-bagus, dan setelah menonton saya jadi ingin mendownload albumnya. Tapi sebuah film yang lagunya jauh lebih memorable dari filmnya pasti mengandung sesuatu yang salah.

Entah mungkin hanya saya saja. Mungkin hanya saya saja yang merasa film ini tidak selucu itu and a waste of a good talent. Mungkin film ini menghibur. Saya juga terhibur sedikit dengan adegan fightingnya, kalau saja tidak diulang berulang-ulang. But this movie could be a lot more. So much potential. Mr.Wright, please make a movie that’s clever and funny again. Because I know you could do so much more.

Step Up 3D




Waktu edar : 6 Agustus 2010

Waktu menonton : November 2010

Media menonton dan teman menonton : Di bioskop sama Sasmaya

Hal paling berkesan : Dance scene yang pake baju nyala-nyala. Sama 3Dnya.

Some people learn to dance… Others are born to.

Film 3D. Bisa dibilang ini adalah tren yang paling hit or miss. Beberapa merasa dengan adanya 3D, sebuah film akan terasa lebih menghibur. Tapi banyak juga yang merasa 3D itu useless dan hanya mengganggu jalannya cerita. Apapun pendapat anda, satu hal yang pasti adalah : 3D sells. Inilah sebabnya mengapa semakin banyak produser yang menambahkan ‘Bla bla bla 3D’ di filmnya. Saya pernah menonton beberapa film 3D. James Cameron’s Avatar salah satu diantaranya. Membandingkan versi 3D dan non 3Dnya (saya menonton kedua-duanya) saya bisa mengatakan dengan pasti bahwa saya lebih menikmati menonton versi non 3Dnya. Gambarnya lebih terang, lebih jelas dan untuk saya, 3D tidak menambahkan apa-apa dalam cerita.

Sekarang hadir Step Up 3D. Step Up mungkin adalah sebuah seri film yang tidak penting untuk dibuat. Step Up pertama adalah salah satu film yang melambungkan nama Channing Tatum sebagai pemain utamanya. Sebagai film dance, film itu sangat menghibur dan penuh dengan gerakan-gerakan dance yang keren. Sayangnya, Step Up 2 the Street, sekuelnya, adalah sebuah film yang tidak penting untuk dibuat dan untuk saya, tidak cukup menghibur untuk ditonton. Ketika saya mendengar pertama kali bahwa sekuel Step Up yang terbaru akan dibuat dalam bentuk 3D, saya langsung pesimis dan langsung menilai film ini sebagai salah satu dari puluhan film yang jatuh ke lubang godaan 3D.

Saya sangat salah. Film ini adalah film yang menghibur, dan saya belum pernah merasa terhibur seperti ini dengan 3D dari sebuah film.

Film ini bercerita tentang sekelompok street dancer yang bernaung di sebuah perkumpulan dancer bernama House of Pirates. Perkumpulan itu diketuai oleh Luke, yang mengubah warehouse orang tuanya menjadi studio dance. The Pirates bertekad untuk memenangkan World Jam, sebuah pertandingan dance internasional yang berhadiah 100 juta dolar.

Tokoh utama dari film ini terbagi dua, yaitu Moose dan Luke, dan jalan ceritanya berjalan paralel. Moose adalah penghubung antara Step Up sebelumnya dan Step Up ini, karena dia juga muncul di Step Up 2, bersama love interestnya, Camille. Storyline satu lagi adalah storyline Luke, yang menceritakan perjuangannya bersama Pirates, dan kisah cintanya bersama Natalie, seorang wanita yang ditemuinya di klub miliknya.

Apa sebenarnya yang membuat saya terhibur dari film ini? Dilihat dari jalan ceritanya film ini sangat biasa. Sama dengan Step Up sebelumnya. Bahkan sama dengan film-film dance lain seperti Bring it On dan sekuel-sekuelnya atau Center Stage. Bahkan kalau bisa disamakan, masih ada kesamaan dengan High School Musical. Aktingnya so so, dan tidak ada yang istimewa dari jalan ceritanya.

Mungkin yang membuat saya terhibur adalah, semua kesimpelan dan keringanan film ini membuat otak saya rileks. Tidak perlu berpikir banyak dan tidak perlu menganalisa. Film ini adalah film ringan yang paling menghibur saya tahun ini.

Pertama, adegan dancenya. Adegan dance di film ini tentu saja keren dan memenuhi 2/3 filmnya. Adegan dance dance yang keren terus saja disajikan kepada kita. Jadi untuk yang tidak terhibur melihat adegan-adegan street dance, jangan harap akan terhibur menonton film ini.

Kedua, 3Dnya. Seperti yang saya bilang diatas, film ini adalah film yang membuat pikiran saya berubah soal 3D. Ketika menonton film ini, sangat terasa bahwa sutradara film ini memang sengaja membuat film untuk 3D. Para dancer mengeluarkan kaki dan tangannya dari layar, meloncat keluar dari layar, dan banyak lagi 3D yang diperlihatkan di film ini. 3Dnya tidak cheesy seperti Journey to the Center of the Earth misalnya, tapi tidak juga tidak berguna seperti Avatar dan Toy Story. 3D movie bayangan saya ya seperti ini.

Ketiga dan paling tidak penting adalah eye candy. Pemain Lukenya adalah the ultimate eye candy dan menambah rasa terhibur saya menonton film ini.

Overall, film ini sebenarnya film yang sangat sangat ringan. But sometimes all we need is some smile in our lives. This is the ultimate enjoyable movie this year :)

NB : Sebelum film ini mulai, ada 3 trailer yang diputar. Ketiganya dalam 3D. Filmnya berturut-turut adalah Tron Legacy, Dreamworks’ Megamind, dan Disney’s Tangled. Ketiganya menghibur, dan ketiganya menggunakan 3D dengan baik. Keseluruhan trailer itu ditambah dengan film ini mengubah pendapat saya tentang 3D. The future of 3D movies can be bright after all.

Vampires Suck


Waktu edar : 18 Agustus 2010

Waktu menonton : September 2010

Media menonton dan teman menonton : di ipod touch dalam perjalanan ke Jakarta

Hal paling berkesan : Errrm, quotes tentang Jonas Brother

Becca : Your skin is pale white. You dress fashionably. And you obstene from sex. I know what you are.

Edward : Say it. Out loud. Say it.

Becca : Jonas Brother.

Pasti pertama kali baca ini kalian yang baca langsung mikir, apaaaaa? Ngapain juga baca review film sampah banget gini?

Dari awal saya mau bilang dulu. Iya film ini sampah. Tapi bedanya film ini dari parodi – parodi lain besutan sutradara yang sama, Vampires Suck lebih mengedepankan parodi dalam bentuk dialog, dibandingkan parodi sebelumnya seperti Disaster Movie atau Epic Movie. Film – film sebelumnya lebih mengedepankan humor slapstick yang sangat sangat sangat sangat tidak lucu. Pada dasarnya saya tidak suka adegan slapstick, apalagi slapstick tidak lucu. Saya menonton Disaster Movie di TV, dan saya sudah merasa itu siksaan. Walaupun saya ga beli DVD bajakannya, saya tetap merasa rugi dua jam waktu saya dihabiskan untuk nonton film itu. Tapi Vampires Suck beda karena humornya lebih kearah dialog dan making fun of scenes in Twilight. Bukan berarti tidak ada adegan slapstick ga jelas. Ada, tapi lebih sedikit. Setelah nonton ini saya baru nyadar betapa ridiculousnya Twilight. Betapa lebaynya.

Satu hal tentang plot. Film ini replika scene by scene Twilight. Tapi anehnya dengan plot seperti itu, film ini bener – bener ridiculous (karena memang itu tujuannya). Dengan scene by scene yang sama, film ini bisa selebay ini, saya baru nyadar betapa konyol dan lebaynya Twilight yang asli. Ada begitu banyak hal konyol yang bisa di make fun of. Dari Jacob yang ga pernah pake baju. Dialog ‘You breathing is gift enough for me’. Adegan ‘Ouch papercut’. Vampires Suck bahkan ga harus berusaha untuk mencari hal – hal yang konyol, karena Twilight sendiri filmnya sudah konyol.

Pemain Beccanya berbicara persis seperti Kristen Stewart. Cara bicara yang ga jelas. Muka Edward di film ini juga menunjukkan ekspresi kaya di film Twilight. Asem. Ini salah satu dialog waktu Becca bertanya kenapa Jacob ga pernah pake baju.

Becca : Jacob, why did you just take off your shirt?

Jacob : My contract says I have to, every 10 minutes of screen-time.

Film ini bukan film bagus. Juga bukan film komedi yang lucu. Film ini cuma sebuah film parodi yang memparodikan semua yang konyol tentang vampire. Tapi mereka diuntungkan dengan source film yang sudah konyol dari sananya. Tidak perlu berusaha terlalu banyak, sudah banyak bahan untuk diparodikan. Saya juga masih merasa rugi jika disuruh nonton film ini di bioskop. Tapi kelebihan dari film ini adalah, mereka mengejek semua hal konyol yang juga saya rasakan waktu nonton Twilight.

Kalau ingin menonton film ini, anggaplah ini bukan film blockbuster. Anggaplah ini film amatir. Film Youtube. Kalau ekspektasi kalian rendah seperti ini, mungkin kalian akan bisa menertawakan bersama adegan – adegan disini. Kalau tidak, kalian akan merasa seperti mayoritas orang yang menonton film ini. Yaitu ‘Apaan banget film ini, sampah banget’.

NB : Walaupun saya udah menghina – hina Twilight, sebenernya saya lumayan suka filmnya. Menurut saya lumayan menghibur ko. Sayangnya memang film ini sangat sangat lebay. Jadi gampang diparodiin.

Daybreakers


Waktu edar : 8 January 2010

Waktu menonton : Juli 2010

Media menonton dan teman menonton : di DVD, sama adik saya

Hal paling berkesan : World buildingnya. Saya suka penggambaran dunianya.


Saya punya banyak film guilty pleasure. Salah satunya, saya suka menonton film survival. Contohnya film-film post-apocalyptic seperti I am Legend dan film-film zombie seperti Diary of the Dead atau 30 Days of Night. Saya suka melihat masa depan yang berbeda. Entah masa depan yang berbeda karna serangan makhluk atau dunia yang berbeda karna sistem yang berbeda. Pokonya itu film guilty pleasure saya.

Waktu pertama saya mendengar tentang Daybreakers, saya langsung ingin nonton. Premis filmnya, dunia dimana hampir seluruh populasi manusia di dunia telah berubah menjadi vampir, menarik untuk saya. Saya suka membayangkan bayangan masa depan yang divisualisasikan dalam film. Film ini mempunyai ide yang bagus. Sayangnya, deep down, it’s just another action movie.

Film ini dibuka dengan memperlihatkan masyarakat yang menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Perbedaannya adalah suasana yang selalu malam, warga yang bergigi taring menyeramkan, dan minuman – minuman di warung pinggir jalan adalah darah. Ya, di dunia Daybreakers, diceritakan bahwa sebuah epidemik menyebabkan hampir seluruh populasi manusia telah berubah menjadi vampir. Mereka tidak pernah bertambah tua, memulai hari saat matahari terbenam, dan meminum darah. Tapi ada masalah. Persediaan darah makin lama makin menipis. Manusia semakin sedikit dan tidak ada darah lagi yang bisa diminum. Seorang vampir yang mencoba menciptakan darah sintesis, Edward (Ethan Hawke), secara tidak sengaja bertemu dengan grup manusia yang melarikan diri dari kejaran polisi. Seperti yang sudah diduga, Edward membantu grup pemberontak tersebut dan menemukan sesuatu yang bisa mengubah segalanya.

Yang pertama saya bahas, dan titik paling positif dari film ini untuk saya, adalah penggambaran dunia Daybreakers ini. Film ini bertempat pada tahun 2019, ketika hampir seluruh populasi bumi adalah vampir. Vampir memulai aktivitas pada saat matahari terbenam. Anak – anak vampir, yang selamanya akan menjadi anak-anak, bersekolah pada malam hari juga. Segala minuman mengandung darah, dan kita bisa membeli darah sesuai golongan darah. Hampir semua rumah dilengkapi dengan Subwalk, sebuah jalan bawah tanah yang menghubungkan semua rumah agar aman berjalan pada siang hari. Orang kaya yang mampu, dapat memodifikasi mobilnya agar dilengkapi dengan Daylight Driving, agar bisa menyetir pada siang hari. Gambaran sebuah dunia vampir, yang modern dan dystopian. Saya suka penggambarannya dan detail-detail kecilnya.

Dan… itulah yang paling baik dari film ini. Jangan salah, film ini menghibur dan ide ceritanya bagus. Tapi kesana-sananya, it’s just another action movie. And it’s a bit short. Banyak gore disana-sini, penuh adegan action. Sayang sekali, padahal saat-saat yang paling saya nikmati justru saat kita diperlihatkan dunia mereka. Dunia vampir ini. I want more of their world. Tapi pada akhirnya film ini menjadi film klise action biasa.

Tidak ada yang bisa saya komentari aktingnya. Mereka bermain cukup, untuk sebuah film survival. Itu yang diinginkan. Ini bukan Rachel Getting Married atau drama kaliber Oscar lain. Akting mereka tidak akan banyak diperhatikan disini. Untuk saya akting mereka cukup, dan hanya cukup.

Ketika credit title muncul, entah kenapa saya merasa kurang. Belum puas. Ini bukan berarti filmnya jelek. Filmnya menghibur untuk saya. Tapi saya seperti melihat banyak potensi yang masih mengendap di dalam film dan tidak bisa keluar. Film action menghibur tapi klise ini can be so much more. Dan untuk itu saya belum puas. Kalau saja potensi dari ide cerita film ini bisa lebih digali lagi, pasti bisa meningkatkan kenikmatan menonton sampai berapa puluh kali. Untuk sekarang, saya harus cukup puas dengan sebuah film action yang menarik dan menghibur. It can be so much more though.

When in Rome

Thursday, June 24, 2010

Waktu edar : 29 Januari 2010

Waktu menonton :
Hari ini

Media menonton dan teman menonton :
dirumah sendiri

Hal paling berkesan : The situation of watching it


I want to thank you, for making me believe in love again. Even though it wasn't real for you, it was real for me.


Kadang - kadang menonton film itu tergantung mood. Kalau kita sedang dalam crappy mood, film yang bagus bisa terasa jelek untuk kita. For me, this movie is the opposite. The mood I'm in when watching it makes me appreciate the movie much more than it deserved.

Premis cerita ini sangat sangat basic dan klise untuk sebuah film rom-com. Beth, seorang workaholic, pergi ke Roma untuk menghadiri pernikahan adiknya. Disana dia bertemu Nick, fell in love, dan dihalangi oleh beberapa konflik - konflik seperti biasa.

Sinopsis yang saya berikan di atas sangat singkat dan terasa sangat klise. That's because it is. But come on, kalau mendengar genre film romantic comedy, we all expect a happy ending. And most of the time, that's what happen. Jadi keasyikan menonton film genre ini adalah melihat bagaimana cara mereka bersatu.

I admit, I'm addicted to romantic comedy. Tapi saya sudah lama banget ga merasakan nonton film genre ini yang bener-bener ngebuat 'aaaaaw'. Dan entah kenapa film ini berhasil melakukan itu untuk saya.

Banyak dialog dalam film ini yang untuk saya so sweet tapi sebenernya klise. Contohnya, seorang duda yang wishing ke air terjun di Roma untuk menemukan cinta. Dia bilang

"When I wish for love, I didn't wish for my wife back. I knew it can't happen. I just wish that I can feel again the way I felt when I'm with her"


And yes, I cried a lot while watching it. Seperti yang udah saya bilang, I love rom-com.

Mood menonton film untuk saya kadang - kadang sangat mempengaruhi. For example, untuk genre romance, saya benci sad ending. Benci benci benci. Saya ga kuat nontonnya. Dear John yang udah saya beli dari lama banget masih ada di rak DVD. Saya cuma kuat nonton itu kalo hidup saya mendekati happy ending. Tapi saya juga ga kuat nonton happy ending kalo hidup saya mendekati sad ending. See, it's just tricky for me. Tapi ini berlaku hanya untuk film romance.

Film ini, yang penuh dengan dialog so sweet yang klise, premis yang klise, but a lovable cast, entah kenapa membuat saya tertarik sekali pada saat ini. Buat saya, happy ending dalam film memproyeksikan wish saya untuk hidup saya yang ga kesampaian.

Seperti yang disebutkan dalam buku He's Just Not That Into You (btw untuk semua cewe, saya recommend banget utk baca buku ini) ,

"
Sure. There are stories. Guys that get pursued by some girl first and she ends up being the love of his life; the guy that treats this girl that he sometimes sleeps with like shit for a couple of years, but she keeps at him and now he's a devoted husband and father; the guy who doesn't call a girl that he slept with for a month, and then calls her and they live happily ever after.


We don't want you to listen to these stories. These stories don't help you. These stories are the exception to the rule. You are exceptional, but not the exception!
"

Buat saya film rom com adalah pelarian saya. Selama dua jam, saya akan menonton, terbawa oleh romance, terbawa oleh kepercayaan bahwa love does exist, bahwa happy endings can happen to me. Setelah dua jam, semua itu akan hilang dan saya akan kembali percaya bahwa happy endings never exist.

Film romance yang baik untuk saya adalah film yang bisa membawa saya kesitu. Bisa melarikan hati saya kedalam cerita itu dan membuat saya merasa bahwa dua pasangan di screen will live happily ever after and loving each other. Film ini untuk saya bisa membuat saya percaya bahwa dua orang ini bener-bener saling mencintai. Believable.

Film ini berhasil untuk saya. Valentine's Day tidak berhasil. 27 Dresses tidak berhasil. Kebanyakan film romance baru tidak berhasil. Jarang sekali ada yang bisa menyamai film - film romance klasik. Pretty Woman, Never Been Kissed, You've Got Mail. Susah menyamai perasaan yang didapat ketika menonton film - film itu.

Film ini tidak seklasik itu. Tapi untuk saya film ini believable. Film ini klise tapi sweet. Membuat saya, untuk dua jam, percaya happily ever after. Untuk saya itu yang membuat saya merasa film rom-com bagus. When I believe, for two hours, that I can get my happily ever after.

The Princess Bride

Wednesday, June 9, 2010

Waktu edar : 9 Oktober 1987

Waktu menonton :
Semester lalu

Media menonton dan teman menonton :
dirumah sendiri

Hal paling berkesan : The sweet romance. And the quotes.


Death cannot stop true love. All it can do is delay it for a while.


Saya sering browsing di internet untuk mencari best romantic movie atau romantic movie quotes. I'm a romantic. Dan setiap saya mencari dimana-mana, selalu ada film ini. The Princess Bride. Saya jadi penasaran sekali tentang film ini dan mencari dimana - mana tapi ga dapet. Saya mendapat informasi kalau film ini berdasarkan buku. Akhirnya saya mencari bukunya. Setelah membaca bukunya, I fell in love with the book. Buku itu menjadi salah satu buku favorit saya.

Setelah lama mencari, saya akhirnya mendapatkan film ini dari teman saya Andissa Granitia. Dan setelah menontonnya, saya cukup puas walaupun ga memenuhi ekspektasi.

Film ini bercerita tentang seorang buruh tani, Westley (Cary Elwes) yang bekerja dirumah sebuah keluarga yang mempunyai anak cantik bernama Buttercup (Robin Wright). Lama - lama mereka jatuh cinta. Tetapi cinta mereka terpaksa selesai ketika Westley, yang pergi mencari peruntungan agar bisa menikahi Buttercup, hilang dilaut ketika kapalnya dibajak oleh bajak laut.

Jangan salah. Itu hanya 5 menit pertama dari film ini. Itu hanya prolognya saja. Inti filmnya mulai lima tahun kemudian. Buttercup yang sudah kehilangan hasrat hidup karena kematian Westley, setuju untuk menikah dengan Prince Humperdick. Tetapi pada hari pernikahannya dia diculik oleh tiga orang penjahat yang melarikan dia ke hutan. Lebih anehnya lagi, ada sesosok figur misterius yang mengikuti penjahat - penjahat itu dan juga ingin menculik Buttercup.

This is a romantic movie. Tapi film ini juga fairy tale movie. Dan juga adventure movie. Film ini mencakup ketiganya digabung menjadi satu. Dan untuk itu, film ini berhasil.

Orang - orang yang sudah terbiasa menonton adventure movie jaman sekarang pasti jadi ilfil waktu liat setting dan special effect di film ini. Karena memang film ini sudah lumayan kuno, tahun 80an. Saya juga sedikit terganggu menontonnya. Tapi itu karena filmnya tidak amazing banget sampai membuat lupa kejelekan special effectnya. Saya menonton Star Wars Episode IV, dan untuk saya film itu begitu bagus sehingga membuat saya lupa kalau film itu dibuat tahun 70an. The Princess Bride memang bagus, tapi tidak amazing.

Aktingnya saya tidak bisa menilai banyak, karena untuk saya tidak ada yang sangat memorable. Semua bermain lumayan tapi tidak bisa membuat saya sangat terpukau.

Film ini adalah film yang lumayan bagus untuk saya. Di semua parameter dia bisa memenuhi dengan baik. Tapi tidak ada yang sangat istimewa disemuanya. I enjoyed it very much, tapi ga membuat saya pengen nonton lagi.

Buku The Princess Bride yang saya baca sangat charming dan penuh satire. Oleh karena itu ekspektasi saya terlanjur sudah tinggi ketika menonton film ini. Dan ekspektasi saya ternyata tidak terlalu terpenuhi dari film ini. Tapi untuk saya film ini tetap cute dan charming.

Untuk saya film ini merupakan film romantis dan cute, tanpa kekurangan yang signifikan tapi tanpa kelebihan yang signifikan juga. Worth it ditonton tapi tidak akan menjadi film favorit sepanjang masa juga. Walaupun begitu Roger Ebert memberi film ini 4 bintang dan memasukkan film ini ke dalam bukunya tentang film - film bagus. Dan bahkan American Film Institute memasukkan film ini dalam daftar 100 best love story. Jadi give this a try. And let me know what you think :)

The Longest Journey


Waktu edar : 19 November 1999

Waktu bermain :
Waktu SMA

Waktu menamatkan :
A loooooong time

Hal paling berkesan : April Ryan. Karakter utama yang believable dan realistik.


You shape your own fate, not the other way around


Ada tiga hal yang saya suka banget : Film, buku dan Video Games. Tapi dari ketiga hal itu yang saya pilih ga sembarangan. Untuk saya, hal yang terpenting yang make it or break it dari ketiga hal diatas adalah : Storyline. Jalan cerita yang baik menurut saya akan membuat saya tidak rugi menontonnya. Itu alasannya kenapa saya suka science fiction dan fantasy. Jalan ceritanya kreatif dan menarik.

Dari kategori video games, ada satu game yang menurut saya sebuah game yang jalan ceritanya mengalahkan jalan cerita film - film sekalipun. The Longest Journey. Sebuah game adventure tahun 1999, yang seperti judulnya, sangat sangat long dan membutuhkan kesabaran memainkannya. Kalau kalian bisa bersabar, hasilnya adalah sebuah cerita yang sangat epic dan sangat worth it untuk dimainkan.

Seperti game adventure lainnya, alur game ini lambat. Tidak ada adegan menegangkan. Tidak ada bertarung. Tidak banyak orang jaman sekarang yang suka game adventure, karena tidak ada bertarungnya atau apa. Untuk saya cuma ada satu yang penting : storyline.

Game ini bercerita tentang seorang mahasiswi Art School bernama April Ryan. Dia mempunyai hidup yang normal. Dia kuliah pada siang hari dan bekerja sambilan pada malam hari. Dia mempunyai teman - teman yang baik. Dia tinggal di sebuah apartemen kecil dengan tetangga menyebalkan tetapi pemilik apartemen yang sangat baik. Hidup April sangat normal. Yang tidak normal hanya satu : mimpi yang aneh.

Pada malam hari, April sering mengalami mimpi - mimpi aneh. Mimpi bertemu naga. Mimpi berbicara dengan pohon. April mengabaikannya pada awalnya. Tetapi ketika mimpi - mimpi itu mulai masuk ke dunia nyata, April merasa dia perlu mencari jawaban. Dan jawaban itu membawa dia pergi dari dunianya, Stark, dunia teknologi, ke dunia lain. Arcadia. Dunia yang penuh dengan sihir dan makhluk aneh. Dan disana akhirnya April menemukan takdir yang harus dia lakukan.

Cerita ini dirajut dengan lama dan perlahan - lahan. Pada awal game, kita mengontrol April ketika dia melakukan kegiatan sehari - harinya. Kita mengontrol dia pergi melukis di kampusnya, kemudian bekerja sambilan di bar malamnya. Kita berbicara dengan teman - teman April yang semuanya punya kepribadian yang menarik. Mengelilingi kota Stark saja membutuhkan banyak waktu. Tapi plotnya bahkan belum mulai. Plotnya mulai menegang ketika April masuk ke dunia Arcadia dan menjelajahi dunia magical. Kita dibawa ke kota yang penuh dengan hal - hal sihir, kota diatas langit, tengah hutan, perpustakaan yang dipahat di tebing, bahkan ke bawah laut. Semua settingnya indah dan menarik. Lama - lama kita akan kembali ke dunia Stark, dan dunia Stark tidak kalah menariknya. Kita akan dibawa ke gedung - gedung menjulang, ke dalam kantor polisi, dan kita diajak menjelajah kota teknologi yang dystopian ini.

Awal dari game ini lambat, karena kita diajak mengenal teman - teman April terlebih dahulu. Dialog - dialognya bisa sangat panjang, dan jika kita tidak punya kesabaran kita bisa - bisa langsung bosan. Tapi dengan dialog - dialog ini kita jadi lebih care dengan April dan teman - temannya dan kita jadi ingin agar April berhasil.

Grafik dari game ini jika dilihat taun ini terasa sangat kuno, tapi tetap indah. Backgroundnya dalam 2D dan sangat indah. Yang mengganggu adalah grafik orang - orang dan April sendiri. Grafiknya masih kasar, tapi game ini bukan dimainkan untuk grafiknya memang tapi untuk ceritanya.

Puzzle di game ini lebih ke arah inventory puzzle. Ada beberapa yang sangat tidak logis dan tidak masuk akal. Tapi keseluruhan menurut saya memainkan ini menyenangkan.

Untuk saya, game ini adalah game yang sangat panjang dengan cerita yang kompleks dan epik, yang akan saya mainkan lagi dan lagi karena ceritanya begitu bagus. Game ini mendapatkan banyak penghargaan Game of the Year karena ceritanya yang begitu bagus.

Salah satu game adventure favorit saya sepanjang masa. Game ini sudah ada sekuelnya, Dreamfall : The Longest Journey, yang bagus juga. Karena waktu edar yang sudah lama, susah mencari game ini. Jika ingin mencari, lebih baik di internet dan mendownload.

Satu yang saya beri tau : jika kalian suka story telling, pasti kalian menyukai The Longest Journey. Tapi bagi orang - orang yang tidak suka berfikir berat dan malas membaca banyak dialog, game ini akan membuat anda sangat bosan. Tapi untuk orang - orang yang tidak gampang bosan, coba game ini. Dijamin kalian akan mendapatkan game dengan salah satu cerita terbaik yang pernah ada.

Uglies


Waktu edar : 8 Februari 2005

Waktu membaca :
Setahun yang lalu

Media Membaca :
Ebook

Hal paling berkesan : Gambaran dystopian future disini. Dunia dimana semua orang cantik itu disturbing tapi keren.


Is it not good to make society full of beautiful people?


Salah satu buku science fiction favorit saya. Jangan tertipu dengan labelnya, YA ( young adult) karena buku ini adalah salah satu buku dengan implementasi ide yang sangat hebat dan dunia yang menyeramkan tapi bagus yang pernah saya baca.

Buku ini bercerita tentang Tally Youngblood, seorang remaja yang hidup di sebuah dunia dimana setiap seseorang berumur 16 tahun, dia menjalani operasi yang mengubah dia menjadi 'Pretties' yang memiliki wajah dan tubuh sempurna tetapi sama. Sebelum berumur 16 tahun, setiap orang adalah 'Uglies' dan bertempat tinggal di Uglyville sedangkan para 'Pretties' bertempat tinggal di New Pretty Town. Sejak kecil Tally menantikan datangnya hari dimana dia menjalani operasi untuk menjadi 'Pretty'. Sebulan sebelum dia menjalani operasi itu, dia mendapat teman baru bernama Shay, yang anehnya tidak mau menjadi Pretty. Shay mengajak Tally untuk pergi ke markas para pemberontak. Ketika suatu kejadian memaksa Tally untuk mencari markas persembunyian pemberontak itu, Tally menemukan sesuatu yang akan mengubah pandangannya tentang Ugly dan Pretty selamanya.

Yang membuat saya sangat terpana dengan buku ini adalah dunia dimana Tally tinggal. Sedikit demi sedikit, kita bisa melihat seperti apa dunia dimana Tally tinggal. Kita diajak mengendap - endap mengelilingi New Pretty Town, menjelajahi dunia luar dimana kita diperlihatkan puing puing dari kehidupan yang lalu, yang menyadarkan kita bahwa dunia Tally berada pada dunia yang sama dengan kita. Dunia Tally yang diperlihatkan dalam novel ini benar - benar detail dan menarik.

Dalam buku ini ada beberapa momen menegangkan, momen lucu, dan juga banyak momen yang membuat kita berpikir. Tema yang diangkat buku ini, tentang apakah menjadi cantik memang sepenting itukah, sangat relevan.

Pada dasarnya buku ini memang buku teenlit. Tapi menurut saya buku ini lebih baik jika dikategorikan science fiction. Dunia yang dibangun di novel ini menggugah rasa ingin tau saya dan menahan saya untuk tetap membaca sampai akhir.

Ide cerita novel ini sebenarnya diambil dari sebuah episode The Twilight Zone yang berjudul In The Eye of the Beholder. Jadi sebenarnya idenya tidak seoriginal itu. Tapi implementasi dari ide itu, dengan dunia yang benar - benar hidup, membuat saya terpukau.

Buku ini adalah buku pertama dari sebuah seri yang dilanjutkan dengan Pretties, Specials, dan Extras. It's a great series, dan untuk saya tidak rugi untuk dibaca. Tapi jika ingin mencoba dulu, baca saja yang pertama, Uglies. I assure you, you won't be disappointed.

Prince of Persia: The Sands of Time


Waktu edar : 28 Mei 2010

Waktu menonton :
Seminggu yang lalu

Media menonton dan teman menonton :
di PVJ w/ Nurdini Amalia dan Nadya Siddiqa

Hal paling berkesan : Jake Gylenhaal. Hands down.


A great man would have stopped what was wrong, no matter who was ordering.


Saya tau tentang Prince of Persia dari tahun 2004, karena saya main gamenya yang berjudul sama. Premis dari gamenya, yaitu sebuah pisau yang bisa mengembalikan waktu, sangat menarik. Untuk sebuah game, menggunakan pisau itu untuk kembali ke waktu sangat berguna karena hal ini mengakibatkan Game Over dalam game ini unik.

Hal ini memang menarik. Tapi untuk sebuah game. Untuk sebuah film, kembali ke waktu dan semua jadi baik - baik saja itu tidak membuat sebuah film menjadi lebih baik.

Oke sekarang kita mulai dari awal.

Film ini menceritakan tentang seorang yatim piatu bernama Dastan yang diangkat anak oleh raja Persia karena keberaniannya. Setelah dewasa, Dastan menjadi lelaki yang urakan namun berhati baik. Ketika paman dan saudara - saudaranya memutuskan untuk menyerang sebuah kota suci, kota Alamut, atas alasan kota tersebut menyuplai senjata untuk musuh mereka, Dastan menemukan sebuah pisau di kota tersebut yang mengubah hidupnya selamanya.

Ternyata pisau tersebut mempunyai kekuatan untuk mengembalikan waktu jika diisi oleh pasir waktu ( Sands of Time). Dengan pisau itu, Dastan dan putri Alamut yang bernama Putri Tamina kabur keluar kota ketika Dastan difitnah dan terpaksa melarikan diri.

Dari jalan cerita sendiri, jika ingin dibandingkan dengan gamenya, sama sekali tidak sama. Yang sama hanya satu : The Dagger of Time itu sendiri. Fungsinya pun tidak terlalu sama. Oke untuk itu saya masih bisa menerima karena sebuah adaptasi tidak harus sama dengan aslinya.

Karakter - karakter di Prince of Persia ini yang menurut saya menarik. Dastan digambarkan sebagai seorang yang jail dan urakan tapi pemberani dan berhati baik. Jake Gylenhaal memerankan Dastan dengan baik menurut saya. Dia menunjukkan seorang lelaki yang slengean tapi tetap bisa diandalkan. Untuk Dastan, sebenarnya saya terdistract sama Jake Gylenhaal itu sendiri yang disini sangat sangat sangat ganteng. Tapi aktingnya juga baik menurut saya.

Satu yang membuat film ini charming : chemistry antara Dastan dan Tamina. Dapet banget. Untuk saya percintaan mereka believable dan chemistrynya dapet. Gemma Arteton bermain cute dan charming disini. Setelah setaun lalu dipermalukan di tabloid gosip karena badannya yang menggendut, disini Gemma terlihat sangat cantik dan seksi. Nilai plus dari film ini adalah Dastan dan Tamina.

Pemain lain tidak bermain seapik mereka berdua untuk saya. Ben Kingsley sebagai paman Dastan sekali lagi memainkan tokoh dengan sifat yang sama. Dia bermain baik seperti biasa, tapi sangat sangat predictable. Bukan karena aktingnya yang jelek, tapi karena Ben Kingsley bermain peran yang sama di banyak film lain. Begitu Ben Kingsley keluar, saya yakin peran dia akan sama dengan beberapa film lain yang saya tonton. He really needs to find another role.

Setting dari film ini untuk saya bagus. Bersetting di Persia, kota Alamut dan gurun pasirnya hidup dan tidak terlihat seperti properti film, tapi benar - benar sebuah kota yang hidup. Special effect dan akrobat - akrobat di film ini indah, tapi that's it. Indah saja.

Film - film adventure baik seperti Indiana Jones, The Mummy dan Pirates of the Caribbean mempunyai satu syarat yang pasti untuk menjadi tontonan yang baik. Film - film tersebut harus dapat membawa penontonnya untuk merasakan petualangan. Berdebar - debarnya, dan ketakutannya. Untuk saya, jika Prince of Persia dibandingkan dengan film - film itu, masih sangat jauh.

Satu yang menjatuhkan untuk saya, the story is much too shallow. Film - film petualangan yang saya sebutkan diatas sebenarnya juga bukan film yang sangat penuh makna. Tapi masih banyak cabang dari petualangan tersebut yang membuat kita penasaran untuk mengikutinya. Untuk saya, POP masih tidak bisa membuat saya merasa seperti itu.

Dan endingnya terasa dipaksakan. Jika ingin membandingkan jalan cerita film dan gamenya, ironisnya gamenya jauh lebih unggul. Jalan cerita gamenya penuh intrik, dan endingnya bittersweet tapi begitu saya menamatkannya saya merasa inilah ending yang pas. Filmnya tidak begitu. Endingnya terasa dipaksakan agar memuaskan penonton. Penonton sekarang tidak bodoh, dan membuat ending yang tidak berakhir dengan baik tapi berakhir dengan pas tidak akan membuat penonton kecewa.

Overall, it's a popcorn movie through and through. POP adalah sebuah film adventure yang menghibur dengan jalan cerita yang ringan dan adegan action yang memukau tapi hanya itu saja. Dengan setting yang sama, saya jauh lebih recommend The Mummy. Sebenarnya saya terhibur nonton POP, tapi cuma itu saja : terhibur. Anda tidak akan rugi menonton POP, tapi film ini juga ga akan blow your mind. So, your choice.

Theme for my reviews

After much consideration, I decided to make this blog a review blog, not necessarily a movie review blog. That's why starting now, I'm gonna review everything, from movies, tv series, books, video games, and even iphone application. So to start it off I have a theme.

Tema pertama : Film
Saya akan mereview 4 film yang ada kata-kata prince, princess, queen dan king di judulnya

Tema kedua : Buku
Saya akan mereview 4 buku teenlit fantasi yang bersetting di masa lalu, masa kini, masa depan, dan afterlife.

Tema ketiga : Video Games
Saya akan mereview 4 game dengan genre RPG, Action, Adventure, dan Simulation.

Okay, here we go :)

Shutter Island

Sunday, April 11, 2010

Waktu edar : 19 Maret 2010

Waktu menonton :
Beberapa minggu yang lalu

Media menonton dan teman menonton :
dirumah w/ my dad and little brother.

Hal paling berkesan : The setting. Downright creepy. And the ending.


Why are you all wet, baby?


Awesome. Genius. Two words to describe this movie. Untuk sebuah film karya Martin Scorsese, tentu saja film ini akan bagus. Untuk saya, this movie live up to its expectation.

Saya pertama kali mendengar tentang film ini dari menonton trailernya di youtube. Saya tertarik karena film ini tidak jelas. Horror? Thriller? Drama? Romance? Film ini tidak bisa dikategorikan ke genre tertentu. Saya penasaran. Apalagi Leonardo Dicaprio pemain utamanya.

Film ini bercerita tentang seorang U.S. Marshal (saya juga kurang tau sebenarnya apa pekerjaan seorang u.s. marshal ) bernama Teddy Daniels dan partnernya Chuck Aule yang ditugaskan ke Ashecliff Hospital, sebuah rumah sakit merangkap penjara untuk kriminal berbahaya yang sakit jiwa yang terletak di Shutter Island. Dia dikirim kesana karena seorang kriminal bernama Rachel Solando, yang membunuh ketiga anaknya, kabur dari ruangannya yang tertutup. Investigasi yang kemudian dia lakukan di Shutter Island kemudian membawa dia ke konspirasi dan misteri yang semakin dalam.

Pertama yang ingin saya bahas, settingnya. Lokasi film ini adalah di penjara merangkap rumah sakit jiwa bagi kriminal. Settingnya benar - benar creepy dan membuat kita merasa ada di sebuah penjara di sebuah pulau tanpa jalan keluar. Film ini sebenarnya bisa masuk ke genre noir, dan itu terlihat dari kostum 50-an yang dipakai pemain - pemainnya.

Kemudian aktingnya. Mungkin ini bisa dibilang tahunnya Leo sekali lagi, karena dua filmnya, Shutter Island dan Inception, mendapat banyak sekali hype. Untuk saya Leo berakting pas, menunjukkan karakter seorang U.S. Marshal yang sangat percaya pada diri sendiri, tapi dibuat ragu oleh semua misteri di sekeliling dia. He is a proud man, but it's not enough on Shutter Island. Ben Kingsley bermain baik seperti biasa, sebagai orang yang baik but we can't quite trust him. Mark Ruffalo mungkin masih kurang, itu mungkin karena dia dibayang-bayangi oleh Leo.

Untuk saya, jalan ceritanya penuh misteri dan membuat saya terbawa dalam cerita. The ending was confusing, which is good, dan film ini bisa membuat kita di 1/2 film yakin bahwa si X pelakunya, tiba - tiba 10 menit kemudian merasa bahwa Y pelakunya. It is a great addition for me, but people who don't like to think when watching a movie would not like this. But for me, it's the perfect end to a noir movie.

Film ini berdasarkan buku. Saya belum pernah membaca bukunya, tapi pengarang buku ini adalah pengarang Mystic River juga, sebuah buku yang juka difilmkan dengan pemain Sean Penn. Saya jadi ingin mencoba menonton Mystic River juga, sebuah film yang dibilang orang-orang juga memusingkan.

Overall, great movie. Saya puas nontonnya. Ayah dan adik saya juga puas menontonnya. A great masterpiece once again from Martin Scorsese. Dan saya bahkan ingin nonton lagi karena masih ada beberapa misteri yang saya belum mengerti sepenuhnya. So, nothing dissapointing from this movie for me.

New York, I Love You

Monday, March 29, 2010

Waktu edar : 16 Oktober 2009

Waktu menonton :
Akhir tahun 2009

Media menonton dan teman menonton :
Di Blitz Megaplex sama Nurdini Amalia , Besty Berliana dan Nadya Siddiqa

Hal paling berkesan : The last segment about an elderly couple arguing but we know they love each other. I always have weak spot for growing old together kind of thing.


Why's that squirrel chasing the other squirrel?
Because he loves her.

Then why is she running away?

Because she's scared.


Alkisah dulu saya pernah nonton film judulnya Paris Je T'aime. It's an abstract movie. I really don't know how to describe it. I don't get it. Pertama karena jalan ceritanya memang rumit. Dan kedua karena mungkin saya ga se open minded sekarang dalam menonton film.

Saya sebenernya tertarik nonton film ini karena jajaran pemainnya. Hayden Christensen. Orlando Bloom. Bradley Cooper. Shia Labeouf. Rachel Bilson. Christina Ricci. Natalie Portman. Blake Lively. Semuanya young up and coming star yang eye candy banget. So I gave this one a try. Okay, on to the movie. Btw, I'm gonna refer to the character by the actors and actress' name cause I really can't remember all their names.

Segmen pertama langsung disuguhi dengan Hayden Christensen dan Rachel Bilson yang bermain sebagai sepasang kekasih (btw, they're engaged in real life) yang mesra, but not really. Mereka pertama kali bertemu, atau sudah lama bertemu, di sebuah lapangan basket. Ketika Hayden masuk ke sebuah kafe dan mendapati Rachel bersama Andy Garcia, mereka mengetahui sesuatu yang mengejutkan. Hmmm untuk segmen ini menurut saya not bad. It's a clever enough idea. Saya sedikit bingung di awal dan akhirnya tapi overall I get it.

Segmen kedua tentang Natalie Portman yang akan menikah dan datang ke toko berlian. I honestly couldn't understand this one. I'm lost. Saya tidak mengerti tentang interaksi Natalie dengan sang penjaga toko. Maybe on my second viewing I'll get it.

Segmen ketiga tentang dua orang, Orlando Bloom dan Christina Ricci yang berhubungan lewat telepon. It's a cute and rather usual entry. Almost anyone will understand it. It's a cute enough love story, but rather usual.

Segmen keempat tentang dua orang yang bertemu ketika mereka mengisap rokok di jalan. Usaha sang cowo berkenalan dengan si cewe berhasil, tapi dengan hasil yang aneh. Menurut saya dialog - dialog di segmen ini cerdas dan settingnya yang dipinggir jalan menunjukan bahwa 'This is New York' and I like it.

Segmen kelima menceritakan tentang seorang teenage boy yang punya keinginan untuk lose virginity pada malam prom, sayangnya pacarnya memutuskan dia. Keputusan dia untuk pergi dengan seorang cewe ternyata berjalan tak terduga. Untuk saya this brought a smile to my face. Sweet dengan cara tersendiri.

Segmen keenam bercerita tentang dua orang yang bertemu dan one night stand kemudian saling berpikir apa lebih baik bertemu lagi atau tidak. Segmen ini semuanya ditunjukkan lewat monolog dalam pikiran tokohnya. Dan untuk saya keputusan sutradaranya untuk menggunakan media seperti itu untuk menyampaikan ceritanya merupakan cara unik dan membuat segmen ini berbeda.

Segmen ketujuh bercerita tentang penyanyi opera yang pensiun dan berlibur di sebuah hotel di New York, kemudian menghabiskan waktunya mengobrol dengan bellboy hotel. Awalnya saya yakin segmen ini akan bagus. But at the end, I have absolutely no idea what it's about. Dan saya penasaran sekali arti film ini apa. Menurut saya segmen ini not bad. Settingnya bagus, akting pemainnya bagus. Mungkin saya saja yang memang belum mengerti ceritanya.

Segmen kedelapan yang disutradarai oleh Natalie Portman bercerita tentang dua pasangan beda ras yang bercerai dan anaknya sedang diasuh oleh sang ayah sehari. Segmen ini simpel tapi menyentuh. Dan quotes di atas saja quotes dari segmen ini.

Segmen kesembilan bercerita tentang seorang gadis Cina yang mendapat tawaran untuk dilukis oleh seorang pelukis. Untuk saya segmen ini so so, dan tidak berhasil menggambarkan New York ataupun I Love You.

Segmen terakhir dan segmen yang paling saya suka, bercerita tentang dua pasangan nenek kakek yang sedang berjalan berdua sambil bertengkar. Sepanjang segmen kita disuguhi dengan pertengkaran mereka yang sepele dan malah menunjukkan they love each other. Ini segmen yang paling saya suka karena I have a weakness for growing old stories.

Overall, film ini tidak bisa dinilai dari keseluruhan, karena film ini memang dibuat dalam segmen -segmen yang tidak berhubungan. Untuk temanya, masih ada beberapa yang tidak mencerminkan New York ataupun I love you. Basically, kalau kalian tidak suka film abstrak, kalian tidak akan suka ini. Dan kalau kalian tidak suka Paris Je T'aime, tidak mungkin kalian suka film ini. Walaupun untuk saya, film ini jauh lebih bagus dari Paris Je T'aime.So selamat menonton.

It's a Wonderful Life

Friday, March 26, 2010

Waktu edar : 20 Desember 1946

Waktu menonton :
Tahun 2009

Media menonton dan teman menonton :
Di rumah sendiri

Hal paling berkesan : The first black and white movie that I truly watch from start to finish



Strange, isn't it? Each man's life touches so many other lives. When he isn't around he leaves an awful hole, doesn't he?



Film ini adalah film yang sering dijadikan parodi di berbagai film. Premis ceritanya juga sering direuse. Seorang lelaki merasa tidak puas dengan hidupnya dan ingin bunuh diri. Ketika dia ingin bunuh diri, seorang malaikat mendatangi dia dan mengajak dia untuk melihat apa yang akan terjadi pada dia kalau dia tidak pernah lahir.

Selama sejarah saya menonton, saya pernah beberapa kali menonton premis cerita seperti ini. Yang saya ingat mungkin salah satu episode The Simpsons dan episode That 70's Show yang menceritakan apa yang terjadi kalau Eric tidak pernah lahir. Ini adalah film yang selalu diputar menjelang Christmas di TV-TV Amerika. Saya meresearch film ini karena saya tertarik menonton film aslinya. Tapi ternyata film ini susah sekali dicarinya. Saya bisa menonton akhirnya karena teman saya Andissa Granitia penggemar film klasik dan saya meminjam dari dia.

Film ini bercerita tentang George Bailey, seorang manager bank yang mengalami keterpurukan setelah semua uang di banknya hilang. Merasa segala yang dia lakukan hanya menyusahkan saja, dia berniat bunuh diri, tapi kemudian ditolong oleh seseorang. Orang itu, Clarence Odbody, mengaku sebagai malaikat yang dikirim untuk memperlihatkan pada George apa yang terjadi jika dia tidak pernah lahir. Tapi sebelum itu, kita diajak untuk mengikuti kehidupan seorang George Bailey dan peristiwa yang membuat dia sampai memutuskan bunuh diri.

Dari premis cerita, saya sebenernya expect film ini lebih kaya film fantasi. Ternyata 3/4 film ini dihabiskan untuk menceritakan kehidupan George Bailey. Tapi jangan mengira kehidupan George Bailey membosankan dan tidak menarik. Tidak ada yang istimewa dalam hidup George, tapi justru itu yang membuatnya istimewa. Dari perkenalannya dengan calon istrinya waktu kecil, keluarganya yang hanya ingin yang terbaik untuk George tapi situasi yang memaksa, dan penghuni kota kecil yang George tinggali, semua menarik. Kita diajak untuk bersimpati pada George, dan kita diajak bersama - sama dengan George untuk sadar bahwa it IS a wonderful life after all.

Setting film ini semuanya ada di kota kecil yang George tinggali. Dari rumah reyot yang punya arti penting bagi George, sampai bank milik ayah George yang akhirnya terpaksa ia miliki, semuanya berhasil membangun suatu suasana familiarity. Menonton film ini saya jadi terbawa dengan kehidupan George, kehidupan yang sebenernya tidak istimewa - istimewa amat.

Film ini adalah film true black and white. Kalau waktu itu The Wizard of Oz hanya 1/4 saja yang black and white, film ini keseluruhannya hitam putih. Tapi menurut saya itu tidak mengurangi kenikmatan saya menonton, karena justru hitam putih itu membuat suasana familiar itu lebih kentara. Cuma mungkin tidak semua orang menyukai film klasik, karena memang flow dari film - film klasik itu sangat lambat dan banyak orang akan bosan dengan film ini pada setengah jam pertama. Tapi untuk orang - orang yang open mind dengan film berbagai era atau untuk yang belum pernah menonton film klasik, ini bisa jadi pilihan pertama.

Overall, ini film drama klasik yang sangat menarik. Film ini disutradarai oleh Frank Capra, seorang sutradara kawakan pada masanya dan memenangkan 4 Academy Awards untuk Best Director. Filmnya yang ini memang tidak mencapai sukses sebesar film - filmnya yang lain. Bahkan sempat dianggap flop hanya karena dibandingkan dengan film - filmnya yang lain. Tapi film ini sekarang menjadi Christmas movie wajib yang ditayangkan setiap bulan Desember di Amerika sana. Untuk saya yang bukan orang Amerika, dan juga tidak merayakan natal, film ini tetap mampu menghibur saya. Dan untuk yang ingin mencoba film klasik, give this a try.

Phobia 2

Saturday, March 13, 2010

Waktu edar : 9 September 2009, a.k.a 09.09.09

Waktu menonton :
Oktober 2009

Media menonton dan teman menonton :
Di Blitz Megaplex sama Ilham Maulana

Hal paling berkesan : Cerita terakhir. I laughed so hard.


Why bother making Alone 2? Everyone is already dead on the previous movie. And besides what kind of title is Alone 2 anyway? The whole point of Alone is there's no one else. Just one. Not two.


Ini film yang saya tunggu - tunggu banget, karena saya nonton 4bia. Waktu saya denger sutradara yang sama akan menyutradarai film ini, saya langsung pengen nonton. Dan pada dasarnya saya suka horror movies cause I'm not easily scared.

Segmen pertama berjudul Novice, tentang seorang anak bernama Pey yang sering melempari mobil dengan batu kemudian mengambil barang berharga dari pengemudinya. Ibunya memutuskan mengirim dia ke kuil untuk menjadi biksu. Disana dia dihantui oleh sesosok bayangan yang mengingatkan akan karma yang dia lakukan. Untuk saya segmen ini tidak terlalu seram. Biasa saja. Adegannya banyak yang bloody dan sadis, tapi untuk seram tidak juga. Sebenernya settingnya yang di hutan mendukung banget untuk sebuah film horor. Tapi realisasinya jadi dipaksakan.

Segmen kedua berjudul Ward, tentang seorang lelaki yang dirawat inap di rumah sakit dan terpaksa berbagi kamar dengan seorang kakek tua yang koma, yang ternyata tidak seperti kelihatannya. Segmen ini paling pendek, dan paling lemah. Saya lebih tidak takut lagi menonton segmen ini. Settingnya di sebuah kamar di rumah sakit. Not really creepy. Jadi so so lah.

Segmen ketiga berjudul Backpackers, ini entri zombie dari kompilasi horor ini. Seorang hitchikers dan pacarnya menumpang sebuah truk yang ternyata berisi hal - hal yang tidak terduga. Untuk saya segmen ini lumayan efektif. Tegangnya kerasa. Bloody juga. Untuk saya ini entri yang lumayan dari yang lain. Cuma karena saya memang suka zombie movie, jadi saya juga ga terlalu takut nonton ini. Cuma better lah dari yang lain.

Segmen keempat berjudul Salvage, tentang seorang wanita yang membeli mobil - mobil bekas kecelakaan dan mengubahnya menjadi mobil bagus lagi tanpa memberi tahu para pembeli. Ketika anaknya hilang, dia harus mencari anaknya diantara mobil - mobil yang sekarang tidak seperti kelihatannya. Untuk saya film yang ini juga efektif, lebih tegang tapi untuk saya tidak cukup seram. Endingnya efektif kalau saja saya ga baru nonton film yang ber-ending mirip dengan ini. Film ini sejajar dengan segmen keempat dalam hal keefektifan. Untuk seram, masih kurang seram juga menurut saya.

Segmen kelima berjudul In The End. Ini dia. This segment alone is worth buying ticket for. Semua pemainnya adalah pemain dari segmen In The Middle -nya 4bia, my favorite segment. Artis tokoh utamanya adalah cewe yang main jadi tokoh utama Alone, buatan sutradara yang sama, bermain sebagai parodi dari tokohnya sendiri. Bercerita tentang kru pembuatan film Alone 2 (That alone is a hilarious gag) yang harus menghadapi masalah ketika artis pemain hantunya, lengkap dengan makeup dan wig rambut panjangnya, harus dilarikan ke rumah sakit. Membuat twist dari stereotype film hantu , "Ternyata dia sebenernya sudah mati" dengan kocak dan unexpected. I laughed so hard. So does the whole theatre. This one segment shines through the rest.

Overall, film ini jauh lebih tidak seram dari 4bia. Segmen yang benar - benar bagus menurut saya adalah yang kelima, dan itu pun komedi horor. Saya sebenernya mau bilang kecewa sama Phobia 2, tapi segmen kelimanya begitu menghibur dan memorable dan ngebuat saya tetep bisa ngasih rekomendasi untuk nonton film ini. Watch it. It's a mediocre horror movie, but wait till you watch the fifth segment. You will be delighted and entertained.

Pinocchio


Waktu edar : 9 Februari 1940

Waktu menonton :
Waktu SD

Media menonton dan teman menonton :
Di vcd original yang beli di Malaysia. Jadi teksnya malaysia dan saya sebagai anak SD ga begitu ngerti. Dirumah sendiri.

Hal paling berkesan : Lagu When You Wish Upon a Star dan adegan di Pleasure Island. Creepy banget buat anak SD.


When you wish upon a star
Makes no difference who you are
Anything your heart desire will come to you


Sebelum saya mulai ngebahas filmnya, saya mau draw attention ke posternya. Poster itu dibuat sama John Alvin. Dia banyak ngebuat poster dan banyak ngebuat poster film Disney juga. His works are absolutely beautiful. Click his name if you want to see his work.

Film ini adalah film animasi panjang kedua Disney. Sebenernya film ini ga begitu panjang. Cuma 88 menit. Saya sebagai anak SD waktu itu aja nyadar filmnya bentar. Dan satu lagi alesan saya ga begitu antusias nonton film ini adalah, ini bukan film Disney Princess. Saya sebagai anak SD waktu itu suka banget sama Disney Princess. Jadi pinocchio sebenernya saya ga terlalu antusias.

Film ini bercerita tentang sebuah boneka yang dibuat oleh tukang kayu bernama Gepetto. Gepetto berdoa supaya Pinocchio bisa menjadi anak sungguhan. Doanya dikabulkan, tapi jika Pinocchio ingin menjadi anak sungguhan dia harus bisa membuktikan bahwa dia tidak egois dan bisa membedakan baik dan buruk. Dan dimulailah petualangan Pinocchio bersama sidekicknya Jiminy Cricket.

Yang pertama saya ingin bahas adalah animasinya. It's absolutely beautiful. Di era 3D kaya gini 2D cenderung terlupakan. Tapi untuk saya keindahan gambar animasi 2D yang scene by scenenya digambar sendiri ga akan ada yang bisa ngegantiin.

Ceritanya bener - bener banyak mengandung pesan moral. Tapi untuk saya yang waktu itu anak SD, scene di Pleasure Island dimana anak - anak kecil yang nakal diubah jadi keledai ngebuat saya ketakutan. Apalagi didukung sama animasinya.

Saya ga bisa bahas banyak karena jujur saya udah rada lupa. Cuma saya inget ini salah satu animasi Disney yang ngebuat saya takut. Dan saya ga mau nonton ulang karena ga ada princessnya. Dan seperti pada film animasi Disney awal lainnya, Pinocchio minim adegan humor atau fun, dan lebih ke menuturkan cerita. And it's an absolutely great story. Just that it's rather creepy.

Mungkin saya sedikit menyimpang dari kritik lain tentang film ini, tapi saya ga begitu suka dengan Pinocchio. Tapi saya akuin, kalau dibandingkan sama Snow White, ceritanya lebih berkembang, dan Pinocchio punya kepribadian. Hanya saja, kepribadian Pinocchio sedikit menyebalkan. But that's what makes it unique. Di jaman sekarang, animasi seperti ini ga akan diproduksi karena terlalu serius. But animation isn't always for children. Jadi buat saya, it's a serious animation. And I salute Disney once again for their work.