When in Rome

Thursday, June 24, 2010

Waktu edar : 29 Januari 2010

Waktu menonton :
Hari ini

Media menonton dan teman menonton :
dirumah sendiri

Hal paling berkesan : The situation of watching it


I want to thank you, for making me believe in love again. Even though it wasn't real for you, it was real for me.


Kadang - kadang menonton film itu tergantung mood. Kalau kita sedang dalam crappy mood, film yang bagus bisa terasa jelek untuk kita. For me, this movie is the opposite. The mood I'm in when watching it makes me appreciate the movie much more than it deserved.

Premis cerita ini sangat sangat basic dan klise untuk sebuah film rom-com. Beth, seorang workaholic, pergi ke Roma untuk menghadiri pernikahan adiknya. Disana dia bertemu Nick, fell in love, dan dihalangi oleh beberapa konflik - konflik seperti biasa.

Sinopsis yang saya berikan di atas sangat singkat dan terasa sangat klise. That's because it is. But come on, kalau mendengar genre film romantic comedy, we all expect a happy ending. And most of the time, that's what happen. Jadi keasyikan menonton film genre ini adalah melihat bagaimana cara mereka bersatu.

I admit, I'm addicted to romantic comedy. Tapi saya sudah lama banget ga merasakan nonton film genre ini yang bener-bener ngebuat 'aaaaaw'. Dan entah kenapa film ini berhasil melakukan itu untuk saya.

Banyak dialog dalam film ini yang untuk saya so sweet tapi sebenernya klise. Contohnya, seorang duda yang wishing ke air terjun di Roma untuk menemukan cinta. Dia bilang

"When I wish for love, I didn't wish for my wife back. I knew it can't happen. I just wish that I can feel again the way I felt when I'm with her"


And yes, I cried a lot while watching it. Seperti yang udah saya bilang, I love rom-com.

Mood menonton film untuk saya kadang - kadang sangat mempengaruhi. For example, untuk genre romance, saya benci sad ending. Benci benci benci. Saya ga kuat nontonnya. Dear John yang udah saya beli dari lama banget masih ada di rak DVD. Saya cuma kuat nonton itu kalo hidup saya mendekati happy ending. Tapi saya juga ga kuat nonton happy ending kalo hidup saya mendekati sad ending. See, it's just tricky for me. Tapi ini berlaku hanya untuk film romance.

Film ini, yang penuh dengan dialog so sweet yang klise, premis yang klise, but a lovable cast, entah kenapa membuat saya tertarik sekali pada saat ini. Buat saya, happy ending dalam film memproyeksikan wish saya untuk hidup saya yang ga kesampaian.

Seperti yang disebutkan dalam buku He's Just Not That Into You (btw untuk semua cewe, saya recommend banget utk baca buku ini) ,

"
Sure. There are stories. Guys that get pursued by some girl first and she ends up being the love of his life; the guy that treats this girl that he sometimes sleeps with like shit for a couple of years, but she keeps at him and now he's a devoted husband and father; the guy who doesn't call a girl that he slept with for a month, and then calls her and they live happily ever after.


We don't want you to listen to these stories. These stories don't help you. These stories are the exception to the rule. You are exceptional, but not the exception!
"

Buat saya film rom com adalah pelarian saya. Selama dua jam, saya akan menonton, terbawa oleh romance, terbawa oleh kepercayaan bahwa love does exist, bahwa happy endings can happen to me. Setelah dua jam, semua itu akan hilang dan saya akan kembali percaya bahwa happy endings never exist.

Film romance yang baik untuk saya adalah film yang bisa membawa saya kesitu. Bisa melarikan hati saya kedalam cerita itu dan membuat saya merasa bahwa dua pasangan di screen will live happily ever after and loving each other. Film ini untuk saya bisa membuat saya percaya bahwa dua orang ini bener-bener saling mencintai. Believable.

Film ini berhasil untuk saya. Valentine's Day tidak berhasil. 27 Dresses tidak berhasil. Kebanyakan film romance baru tidak berhasil. Jarang sekali ada yang bisa menyamai film - film romance klasik. Pretty Woman, Never Been Kissed, You've Got Mail. Susah menyamai perasaan yang didapat ketika menonton film - film itu.

Film ini tidak seklasik itu. Tapi untuk saya film ini believable. Film ini klise tapi sweet. Membuat saya, untuk dua jam, percaya happily ever after. Untuk saya itu yang membuat saya merasa film rom-com bagus. When I believe, for two hours, that I can get my happily ever after.

0 comments:

Post a Comment