Waktu edar : 17 Januari 2011
Waktu menonton : 15 Februari 2011
Media menonton dan teman menonton : Ciwalk XII sama Nadya Siddiqa, Nurdini Amalia, Dang Dwaya Reksawibisana, Agiya Fersya
Hal paling berkesan : I'm stumped. I honestly don't know
Untuk membuat sebuah film superhero, diperlukan seorang superhero yang likable. Bukan berarti superhero itu harus baik sekali, tidak pernah melakukan kejahatan dan sebagainya. Tapi penonton harus bisa merasakan koneksi dengan sang tokoh. Seorang superhero harus bisa membuat penonton merasa dia super, tapi masih ada aspek dalam dirinya yang bisa membuat kita merasa “They’re only human after all”.
Menonton The Green Hornet, saya bingung mengkategorikan film ini sebagai film superhero atau bukan. Ya, film ini adalah adaptasi dari komik. Ya, film ini berkisah tentang seseorang yang memerangi kejahatan walau dengan cara yang berbeda. Tapi film ini jatuh-jatuhnya untuk saya sebagai film action biasa.
Britt Reid (Seth Rogen) adalah anak dari pemilik koran terbesar di Los Angeles, The Daily Sentinel. Dia tidak pernah bekerja dan selalu menghabiskan uang ayahnya. Ketika sang ayah meninggal mendadak akibat sengatan lebah, dia terpaksa diwarisi perusahaan koran sang ayah dan juga jabatan sang ayah sebagai pimpinan The Daily Sentinel. Petualangannya menumpas kejahatan dimulai ketika dia bertemu dengan pegawai garasi ayahnya, Kato (Jay Chou) yang bisa merancang mesin dan alat-alat yang canggih. Mereka berdua memutuskan untuk mencoba menggunakan mobil tersebut untuk memotong kepala patung ayah Britt pada suatu malam. Ketika mereka secara tidak sengaja malah mencoba memerangi kejahatan, mereka justru mengetahui besok paginya bahwa mereka dikira kriminal dan bukan pahlawan. Akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi pahlawan dengan berpura-pura menjadi kriminal untuk bisa lebih dekat dengan kegiatan kriminal.
Sebenarnya apa yang salah dari film ini? Untuk saya, yang paling fatal adalah Britt Reid. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, untuk membuat sebuah film superhero, penting sekali untuk membuat tokoh yang likable dan relatable. Britt is a jerk. And an idiot. Saya tidak masalah dengan tokoh orang kaya menyebalkan yang womanizer, asal dia likable untuk kita, sang penonton. Tony Stark, sang protagonis dalam film Iron Man, adalah womanizer dan menyebalkan, tapi kita sebagai penonton yang melihat dari sisi Tony-nya, bisa melihat kenapa dia begitu. Entah karena scriptnya atau performa Robert Downey Jr. yang jauh lebih baik dari Seth Rogen, saya tidak melihat sama sekali sisi baik dalam diri Britt Reid. Dan seorang superhero harus membuat penontonnya merasa dia pantas menjadi superhero. Untuk saya, Britt tidak pantas sama sekali menjadi superhero.
Bukan cuma itu saja. Hampir tidak ada sama sekali perkembangan karakter di dalam film ini. Semua orang ya cuma begitu saja. Bahkan untuk terjadi sebuah character development, orang-orang di film ini harus punya karakter dulu. Dan hampir tidak ada tokoh di film ini yang terlihat karakternya. Britt terlihat karakternya, tapi karakter itu adalah seorang unlikable idiot jerk, yang tidak membantu film ini sama sekali. Kato sebagai sidekicknya, tidak berekspresi dan tidak pernah diperlihatkan emosi yang signifikan. Saya bahkan baru tahu bahwa pemerannya adalah Jay Chou saat menulis review ini dan saya kaget. Saya pernah menonton film Jay Chou dari negara aslinya, dan aktingnya bagus. Disini sama sekali tidak terlihat itu. Dan yang menganggu saya lagi (maaf kalau seperti rasis, tapi saya tidak bermaksud kesitu) adalah suara Jay Chou, yaitu bahasa Inggris dengan logat Cina. Saya tidak mengerti apapun yang dia ucapkan, dan menurut saya lebih baik dia digambarkan sebagai karakter yang memang berbahasa Cina, atau pilihlah aktor Cina yang memang bisa bicara bahasa Inggris lancar.
Love Interestnya dimainkan oleh Cameron Diaz dalam performa yang paling flat, dan tidak ada sesuatu pun yang istimewa. Dan mungkin saya bisa memberikan penghargaan sedikit karena dalam film ini tidak ada adegan kissing atau percintaan dengan sang love interest. Itu sangat jarang terjadi dalam dunia perfilman. Satu karakter yang menurut saya penyelamat dari deretan cast yang so so adalah villainnya, Chudnofsky. Dia jahat, tapi comical, yang pantas karena film ini kan adaptasi dari komik. Tapi pemerannya, Christoph Waltz, memainkan peran ini dengan sangat baik, dan membuat saya merasa ini adalah film komedi. Jelas itu yang diincar oleh sang pembuat film, yaitu action comedy, tapi Waltz lah yang paling sering mengingatkan saya tentang hal itu. Kalau melihat banyaknya penghargaan yang diraih setelah performanya dalam Inglorius Basterds, tentu saja ini tidak mengherankan. Saya menantikan menontonnya dalam film Water for Elephants bersama Reese Witherspoon dan (tergantung kalian Team Edward atau bukan) Robert Pattinson.
Sebenarnya apa yang ingin diraih oleh sang pembuat film, Michel Gondry, yang membuat masterpiece, Eternal Sunshine of the Spotless Mind, dan membuat beberapa film yang bagus kalau itu yang anda suka, tapi pasti unik, yaitu The Science of Sleep dan Be Kind Rewind? Cuma di beberapa scene saya melihat gaya penyutradaraan Gondry, selebihnya ini hanya sebuah film action biasa. Yang ingin dicapai sepertinya adalah film action comedy, dan di beberapa tempat tujuan ini tercapai. Saya tertawa di beberapa scene. Tapi apakah ini film action comedy yang baik, dan apakah ini film superhero? Jawabannya tidak untuk keduanya. Untuk kategori film action, terlalu banyak adegan yang diperpanjang tanpa tujuan. Di pertengahan film, ada adegan perkelahian antara Britt dan Kato yang untuk saya terlalu panjang dan tidak ada gunanya. Durasi perkelahian itu dipotong setengah, atau bahkan tiga perempatnya, tujuan yang ingin dicapai masih akan tercapai. Dan terlalu banyak ledakan dan adegan tembak-tembakan yang untuk saya lebih berfungsi sebagai filler dan tidak begitu penting. Untuk kategori film komedi, ini lumayan tercapai. Ada beberapa scene yang lucu, tapi ada beberapa scene yang “garing”. Untuk film superhero, seperti yang sudah saya ungkapkan diatas, film ini gagal dengan satu alasan : Britt is NOT likable.
Mungkin ada banyak yang terhibur menonton film ini. Tapi untuk saya, melihat adegan ledakan dan perkelahian diselingi percakapan orang-orang yang minim karakter dan seorang protagonis yang unlikable is not my idea of a good time. Jadi maaf sekali Michel Gondry, tapi ini adalah Epic Fail anda.
Subscribe to:
Posts (Atom)